Senin, 8 Agustus 2016, bertempat di Restoran Bunga Rampai, Cikini, Jakarta Pusat, terbentuklah Koalisi Kekeluargaan (KK). KK dibentuk oleh perwakilan dari tujuh partai politik: PDI-P, Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, PPP dan PKB.
Tujuan dari pembentukan KK adalah menyatukan kekuatan bersama secara politik antar partai-partai politik yang bernaung di bawah bendera KK supaya bisa lebih solid menghadapi arus jelang dan pada saat hari-H Pilkada DKI Jakarta 2017.
Bagi separuh publik, pembentukan KK merupakan suatu langkah positif dalam cerita politik tanah air, Indonesia. Sebab, KK - dalam pandangan saya - menjadi semacam rumah bersama, tempat rehabilitasi dan pusat rekonsiliasi antar partai-partai politik yang "berselisih" pada Pilpres 2014 kemarin.
Pada skala nasional, tembok pemisah antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sudah runtuh. Sekalipun reruntuhan itu belum sepenuhnya disapuh bersih, namun setidaknya ketegangan dan perselisihan antar kedua kubu tersebut perlahan mulai mereda. Dan, wajah rekonsiliasi politik sudah menampak.
Dengan demikian, terbentuknya KK merupakan terjemahan atau aktus tanggap paling bagus dari kader-kader KMP dan KIH pada skala lokal, dalam lingkup DKI Jakarta, Â atas upaya rehabilitasi dan rekonsiliasi yang sudah dimulai oleh kader-kader KMP dan KIH pada tingkat nasional. Ini bagus untuk mendukung pertumbuhan iklim dan konsolidasi politik nasional.
Lantas, mengapa Koalisi Kekeluargaan dilihat sebagai  simbol perpecahan bagi PDI-P?
Di luar sana, ada banyak sekali kader PDI-P asli yang terpilih sebagai kepala-kepala daerah. Juga mungkin ada konflik internal dalam setiap proses mekanisme internal partai pada saat PDI-P melakukan penjaringan dan penetapan atas kader-kadernya sendiri sebagai calon kepala daerah.
Namun, hal itu tidak seheboh proses penjaringan dan penetapan calon kepala daerah yang sementara dilakukan PDI-P di jelang Pilkada DKI Jakarta 2017. Tampaknya, ada semacam tarik ulur dan perang kepentingan antar kader-kader internal PDI-P, tepatnya antar keder "asli" dan keder "naturalisasi", dengan kelompok pendukungnya masing-masing, dan begitu mengemuka.
Di atas permukaan, publik bisa menemukan ada kelompok yang berdiri di belakang Boy Sadikin. Juga ada kelompok yang berdiri di belakang Djarot Saefula. Pun ada kelompok yang berdiri di belakang Tri Rismaharini (Risma). Ada juga kelompok yang berdiri di belakang Joko Widodo (Jokowi). Pun, ada kelompok yang berdiri di belakang Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Gubernur petahana, dll.
Pertanyaannya, ke arah mana kiblat perjuangan atau kehendak politik apa yang hendak disampaikan kelompok-kelompok di atas kepada publik dan Sang Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarno Putri (Megawati)?
Kepada publik, banyak dari kelompok di atas ingin menyampaikan bahwa Ahok bukanlah pilihan politik yang tepat untuk Pilkada DKI Jakarta kali ini. Dan kepada Megawati, separuh dari kelompok di atas ingin mengatakan bahwa berilah prioritas kepada kader-kader asli dan hentikan upaya akomodasi atas politisi hasil naturalisasi.