Kisah tentang Asma Dewi, ibu rumah tangga yang digelandang petugas hukum karena diduga terlibat dalam kasus Saracen, baru separuh jalan. Sekalipun demikian, polisi sudah mesti sibuk kembali. Alasannya, Dodik Ikhwanto, mahasiswa tanggung asal Palembang, yang menghina Ibu Negara, Iriana Widodo, via instagram telah menyerahkan diri.
Jauh sebelumnya, sudah ada beberapa pelaku hate speech yang diciduk para petugas hukum. Dan mereka terlihat payah dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sebut saja, misalnya, Yulianus Paonganan, pemilik akun @ypaonganan. Atau Muhammad Arsyad Assegaf, pedagang sate yang menghina Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mantan presiden Megawati Soekarnoputri via facebook.
Juga ada Sri Rahayu Ningsih, ibu rumah tangga asal Cianjur, dengan litani ujaran kebencian dan penghinaannya terhadap Presiden Jokowi. Atau ustadz Alfian Tanjung dengan persoalan tuduhan PKI-nya terhadap mereka yang bekerja di Istana Negara. Atau juga sang editor pidato Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu, Buni Yani, dll.
Dari sekian banyak pelaku hate speechyang berhasil diciduk dan digerek masuk dalam proses hukum tampaknya masyarakat - sebut saja - 'kelas bawah' jauh lebih banyak. Dan kelihatannya bahwa pelaku hate speech 'kelas bawah' ini begitu mudah untuk diputusinatau ditinggal pergi indung semangnya manakala terjadi 'chaos-politis' di atas panggung publik.
Para sosiolog semisal Max Weber (1864-1920) atau Pitirim A. Sorokin (1889-1968), dll, tentu memiliki dasar argumentasi yang kuat ketika mereka berbicara tentang kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Bahwa seseorang bisa terstratifikasi ke dalam kelompok masyarakat kelas atas (upper class), kelas menengah (midle class) atau kelas bawah (lower class) oleh karena perbedaan kekuatan ekonomi, politik dan jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat.
Namun biasanya, lanjut sosiolog Vedy R. Hadiz, dalam setiap kerumitan dan atau gesekan sosial politik yang terjadi dalam masyarakat, kelompok upper class dan midle class mampu untuk melepaskan atau meloloskan diri, sedang masyarakat lower class tidak.
Dengan alur pikir sosiologis di atas, kita kemudian bisa sedikit memahami mengapa adanya perbedaan porsi pemberlakuan hukum-an atas pelaku hate speech dari masyarakat lower class semisal Asma Dewi, Sri Rahayu Ningsi, dll. dan pelaku hate speech dari masyarakat midle class atau upper class semisal - sebut saja - Amien Rais (ARais), Fahri Hamzah (FaHam), Rizieq Shihab (RShihab), Yusron Izha Mahendra, Ahmad Dani (ADani), dll. Yang satu diperlakukan secara ketat, dan yang lain diperlakukan secara fleksibel.
Fenomen ini menjadi semacam faktum sosial yang sulit kita nafikkan dalam praksis penegakkan hukum di tanah air. Ini tidak hanya tentang penanganan persoalan hukum hate speech tetapi juga menunjuk pada semua kasus hukum yang sudah dan sedang ditangani para petugas hukum saat ini. Itu asumsinya.
Jika asumsi di atas benar, maka ia menjadi kritik sumbang yang bagus bagi pemerintah dan para petugas hukum. Ia pun bisa menjadi bahan pertimbangan yang baik bagi para (calon) pelanggar hukum, pelaku dan penyebar hate speech misalnya, dari masyarakat 'kelas bawah', kumpulan orang-orang yang bukan berada pada lingkaran utama atau jauh dari pusat-pusat kekuasaan, untuk bermawas diri.
Pelaku hate speech 'kelas bawah' boleh saja mengajukan protes dengan argumentasi bahwa pelaku hate speechsemisal ARais, FaHam, RShihab atau ADani - dari kelas menengah atau atas - bebas mencaci dan mengritik pemerintahan Jokowi tanpa disentuh atau dipreteli hukum secara ketat sebagai pokok dalih.
Namun dalih ini de iure tidak bisa dipakai sebagai poin pembelaan di hadapan hukum, apalagi sebagai pembenar atas setiap perilaku hate speechyang diproduksi pelaku dari 'kelas bawah'. Mengapa?