Perang politik antar kekuatan oposisi dan pemerintah tidak lagi sepanas dan semenarik dulu. Padahal balapan politik lima tahunan periode kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden RI belum sampai titik finish.
Kubu oposisi tampaknya sedang didera rasa letih-lesu. Boleh jadi, kubu oposisi melemah-lelah karena tenaganya sudah dikuras habis-habisan semenjak pluit berbunyi tanda dimulainya roda demokrasi RI periode 2014-2019 di bawah kepemimpinan Jokowi. Rupanya, gagasan untuk 'menelikung' Jokowi di lintasan politiknya tidak semudah atau secepat aktus memesan semangkuk mie instan di warung-warung pinggir jalan.
Awal mula kubu oposisi lantang membusung dagu karena mampu menyabet semua kursi pimpinan DPR, MPR, dan ketua alat kelengkapan dewan, dan mereka pun berhasil dalam intrik pengesahan UU MD3.
Pada saat yang sama, beberapa kebijakan politik non-populer dari pemerintahan Jokowi, penghapusan subsidi disertai kenaikan harga BBM misalnya, banyak memberi keuntungan moral bagi disposisi politik kubu oposisi di mata masyarakat.
Dalam situasi politik yang demikian lahirlah syair-syair satirik semisal presiden ndeso - plonga plongo - klemer klemer dan sejenisnya demi menunjukkan sekaligus menjustifikasi persepsi tentang kedigdayaan kubu oposisi dan ketidakmampuan Jokowi memimpin bangsa ini, Indonesia.
Hampir tiga tahun sudah roda RI periode 2014-2019 bergerak di bawah komando Jokowi. Aksi politis saling tikung menelikung atau salib menyalib antara kubu oposisi dan kubu pemerintah layaknya drama berseri yang enggan tutup layar.
Ironisnya, dalam situasi politik yang demikian grafik persepsi tentang ketidakmampuan Jokowi memimpin bangsa berbalik pasang, sedang grafik persepsi tentang kedigdayaan kubu oposisi berlaku surut.
Susul menyusul antar Agus Harimurti Yudhoyono dan Susilo Bambang Yudhoyono dari kubu Cikeas ke Istana Negara pasca diplomasi Nasi Goreng, termasuk bubarnya kelompok Hizbut Tahrir Indonesia, seolah melengkapi laju surutnya kedigdayaan oposisi di bawah komando kubu Hambalang yang sudah diperoleh sebelumnya.
Jauh sebelumnya, kubu oposisi sudah 'ditinggal minggat' beberapa penyanggah utama kemasyuran politiknya. Sebut saja, misalnya, (1) Muhammad Riza Chalid dalam kisah Petral (Pertamina Energy Trading Limited), atau (2) PPP dan Golkar, termasuk PAN, yang berbalik mendukung pemerintah dalam cerita perpecahan Koalisi Merah Putih.
Kemudian berturut-turut menyusul: (4) kelompok-11, Kivlan Zen dkk. dalam cerita makar 212-nya dengan petugas keamanan, (5) Bos Perindo, Hary Tanoe, dalam cerita SMS-nya dengan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Yulianto, dan (6) Sang Imam Besar Front Pembela Islam, Rizieq Shihab, dalam cerita multikasusnya dengan para petugas hukum.
Mungkin untuk alasan-alasan di atas, kubu oposisi kemudian me-lengos marah dengan syair-syair rintihannya. Boleh jadi, deretan syair diktator kecil - abuser of power - doa penggemukan - kekuatan siluman dan sejenisnya merupakan cerminan keluh-tapal batas kubu oposisi atas sikap pemerintahan Jokowi yang 'tidak welas asih' terhadap lawan tanding politik.