Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu... -

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tiang Gantung Penghakiman

29 Juli 2016   21:07 Diperbarui: 30 Juli 2016   01:11 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: pastorkylehuber.com

Janji itu mustahil rasanya.

Saya sadar bahwa janji ini tidak lebih dari sebuah bualan hampa. Saya hanya sedang mengibuli  rasaku untuk selalu bersamanya saat itu. Sebab, jangankan Sekolah Menengah Atas, biaya sekolah untuk masa putih biru yang baru lewat saja teramat sulit bagiku. Ibuku tertatih-tatih memenuhinya. Jadi, bagaimana mungkin saya bisa melanjutkan studi ke jenjang universitas?

Saya mengeluh perih. Rasanya tak mungkin saya bisa kembali padanya. Mustahil.

Dia pergi dan saya pun pergi. Tak ada satu kata pamit di antara kami. Pikirku, toh saya baginya bukanlah siapa-siapa. Saya hanyalah seorang teman biasa, seperti temannya yang lain. Tidak lebih. Jadi, saya akan segera hilang dari ingatannya. Tetapi, dia bagiku adalah wanita masa depanku. Wanita masa depanku yang sedang kuperjuangkan melalui jalan mustahil ini.

II

Waktu berganti. Hari berputar dan minggu pun datang. Bulan terus berlari. Tahun pun terus berganti entah untuk yang keberapa, saya tak tahu.

Dalam waktu yang sepi dan panjang itu, saya berjumpa dengan mendiang ibunya untuk beberapa kali secara tak sengaja. Hatiku menderu, rasanya ingin bertanya, "Tante, di mana Lili sekarang? apa dia baik-baik saja?" Namun hati, otak, dan rasa rendah diriku meyelamatkanku dari rasa malu yang bakal timbul bila saya mengajukan pertanyaan bodoh itu.

Sesalku, kalau saja saya sedikit berkebal rasa mungkin saat itu saya tahu di mana putrinya, wanita masa depanku.

Tetapi apa dayaku. Senyuman ibunya saat itu jauh lebih dari cukup untuk bercerita padaku tentang putrinya. Putrinya yang saya cintai dan saya rindukan, walau nampak mustahil.

Senyuman itu bercerita padaku, "putriku baik-baik saja".

Saya tersedak. Saya tersedak menyadari "siapakah aku ini". Saya sedang terseret badai hidup yang tak terbilang. Jangankan pendidikan di bangku putih abu-abu saat itu, hidup dan keluargaku pun betapa peliknya. Mungkinkah? Saya tak tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun