Mohon tunggu...
Bagas De
Bagas De Mohon Tunggu... -

Buruh sosial. Tinggal dan bekerja di Slovakia-Eropa Tengah. Aslinya, Anak Kampung, dari Nehi-Enoraen, ntt. Laman blog pribadi: www.confessionoflife21.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Cerminan Kecelakaan Sejarah atau Sejarah Baru

12 Maret 2016   16:17 Diperbarui: 13 Maret 2016   03:15 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Independen, demikian keputusan politik Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Ia memilih jalur itu untuk maju dalam kompetisi pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Itu menarik. Menarik karena pilihan itu bisa mengguncang zona nyaman para politisi ternama. Menarik karena pilihan itu juga mampu mengusik zona sakral milik partai-partai besar dalam politik. Oleh pilihan itu, semua dibuatnya seolah-olah "Siap bersiaga!" Ia ibarat dinamit bagi para saingan politiknya. Tetapi biarkan Ahok di situ dan tetap begitu adanya. Dengan begitu, publik secara lebih jelas melihat, mengidentifikasi dan mengenal "Siapa Ahok" dan "Siapa Bukan Ahok".

"Siapa Ahok"? Secara personal, separuh dari masyarakat mengenal Basuki Tjahaja Purnama sebagai suami dari Ibu Veronika Tan. Ayah dari Nicholas, Nathania, dan Daud Albeenner. Pria asal Belitung Timur, dlsb. Namun, Ahok dikenal publik tidak sebatas pada unsur silsilah itu saja. Pun, hemat saya, Ahok terkenal, atau dikenal luas publik, bukan karena faktor genealogi tersebut melainkan pada apa yang Ahok lakukan sebagai politisi, khususnya sebagai Gubernur di wilayah DKI Jakarta. Lantas, apa yang Ahok lakukan?

Mari kita menyebut beberapa. Setidaknya itu yang khas dan unik dari Ahok. Di saat banyak politisi manut pada partai politiknya (parpol) untuk keabsahan UU MD3, Ahok justru memilih mundur dari partainya karena pilihannya. Di saat banyak politisi mengharapkan dukungan parpol untuk menggerakkan roda birokrasi DKI Jakarta, Ahok, gubernur terlantik, memilih berjalan "sendirian". Di saat banyak politisi malu-malu membeberkan hartanya kepada publik, Ahok tanpa sungkan membeberkan harta kepunyaannya.

Di saat banyak eksekutif memilih "berdamai" dengan legislatif demi kondusifnya suatu roda pemerintahan, Ahok justru memilih "perang-gaduh" dan membiarkan rakyat secara bebas memelototinya. Di saat banyak pimpinan apatis merelokasi dan memperbaiki pemukiman kumuh penduduk, Ahok memilih maju tanpa takut dihakimi publik yang menamakan diri pejuang-pejuang kemanusiaan. Dan yang aktual saat ini adalah, di saat banyak politisi merapati parpol demi dukungan dan kekuatan politis untuk Pilkada DKI Jakarta, Ahok justru memilih jalur independen. Pilihan-pilihannya ini bagai antitesa dari lakon politisi yang lumrah. Itu "Siapa Ahok".

Lalu, "Siapa Bukan Ahok"? Untuk menghindari kesalahpahaman dalam penafsiran, apalagi tafsiran yang kebablasan, saya coba menguraikan apa maksud saya tentang "Siapa Bukan Ahok". Konteks dari uraian ini adalah kontestasi politik DKI Jakarta menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017.

"Siapa Bukan Ahok" menunjuk pada Kompetitor Politik Ahok, baik secara perorangan dan atau sebagai sebuah parpol. Secara perorangan, kompetitor Ahok adalah para bakal calon gubernur DKI Jakarta. Dan sebagai sebuah parpol, kompetitor Ahok itu menunjuk pada partai-partai politik yang menaungi, mendukung dan atau mengusung bakal calon gubernur dan wakil gubernur tertentu dalam Pilkada DKI Jakarta. 

Sejauh ini, para Kompetitor Politik Ahok itu bergerak memposisikan diri secara dinamis. Secara perorangan, publik bisa membedakannya secara jelas. Tetapi, dari sudut kekuatan sebagai sebuah parpol, publik tidak mudah membedakannya. Partai-partai politik terus bergerak dengan penuh dinamika. Publik seolah-olah dibiarkan untuk sedikit menerka-nerka dalam kebingungannya. Dan itulah seninya dalam berpolitik, demikian kata abang saya. Tetapi itu bukan pointnya. Lalu?

Tanggal 9 Maret 2016, keputusan politik itu diambil. Ahok maju sebagai-bakal-calon gubernur dari jalur perseorangan. UU Nomor 8 Tahun 2015 juga memungkinkan pilihan itu. Keputusan ini telah menciptakan sensasi tersendri dalam cerita politik DKI Jakarta. Sebab, pilihan itu tidak hanya menimbulkan keriuhan di tengah publik tetapi juga melahirkan riak. Dan riak itu mengalir di antara Teman Ahok dan-separuh-rakyat di satu pihak dan elitis parpol tertentu di pihak yang lain. Tetapi biarkan riak itu terus mengalir. Sebab dengan itu, rakyat dibantu untuk secara jelas melihat di mana posisi Kompetitor Politik Ahok dan di mana posisi Ahok. Dengan pilihan Ahok itu, rakyat lebih mudah membedakan "Siapa Ahok" dan "Siapa Bukan Ahok".

Tentang riak. Belakangan muncul statemen dari beberapa petinggi partai PDI-P. Statemen itu disinyalir muncul dalam hubungannya dengan pilihan politik Ahok. Dimulai dengan "kekuatan mesin parpol sebagai sesuatu yang niscaya untuk keterpilihan seorang kepala daerah", disusul "komparasi asas legalitas kelompok-kelompok pengusung seorang calon kepala daerah", kemudian yang terakhir "deparpolisasi", dan entah apalagi yang bakal muncul kemudian. 

Statemen-statemen itu, plus argumentasi logisnya, bagai surat berantai dengan simpul satu dan sama: Konsolidasi Lawan Ahok. Hemat saya, itu sah-sah saja dan juga ada benarnya. Jika demikian, maka kita bisa membuat evaluasi berikut. Pilihan Ahok menisbikan kekuatan mesin parpol. Sedang pernyataan petinggi parpol di atas, sebagai personifikasi kekuatan sebuah parpol, menafikan kekuatan figur dari seorang calon kepala daerah. Sedang di seberang sini, rakyat juga-terlanjur-paham perihal relasi simbiosis-mutualis antar keduanya, kekuatan figur dan kekuatan mesin parpol. Kalau begitu ceritanya, maka biarkan rakyat menjadi hakimnya. Hakim yang menentukan siapa yang patut dipercaya dalam kompetisi demokrasi kali ini. Atau parpol atau integritas figur calon kepala daerah.

Tantangan rakyat saat ini adalah membuat pilihan dan menaruh percaya pada parpol atau pada kekuatan integritas calon kepala daerah, dalam hal ini Ahok. Dengan pilihan jalur perseorangan, Ahok telah mempermudah jalan itu untuk rakyat. Jadi, sebagai penutup, biarkan Ahok dengan pilihan dan idealismenya. Juga biarkan Kompetitor Politik Ahok dengan pilihan dan idealismenya. Dan rakyat mesti tetap berada di antara mereka dengan integritas diri yang kuat, penuh sikap awas, dan kesetiaan untuk selalu memberi evaluasi kepada para pelaku utama politik itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun