Â
   Â
Gagasan trias politica yang dikemukan John Lock (1632-1704) dulu memiliki banyak peran dalam perkembangan demokrasi politik saat ini. Banyak negara yang mengadopsi dan atau memakai gagasan filsuf asal Inggris itu. Termasuk Indonesia, khususnya DKI Jakarta. Dalam trias politica diuraikan bahwa kedudukan eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah sejajar dalam sebuah negara demokrasi. Ketiga lembaga ini memiliki tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Sekalipun demikian, ketiganya tetap dalam satu garis visi dan misi yakni saling melengkapi dan membangun demi mencapai bonum commune, kebaikan dan kesejahteraan bersama dari suatu kelompok masyarakat yang dipimpin. Lantas, apa hubungannya dengan cara pikir nyeleneh saya di atas? Beauty and the Beast DKI Jakarta: Atau Ahok? Atau (Oknum) DPRD?
Kemarin, saya membeli karcis dan menonton film di salah satu bioskop terdekat. Kebetulan film yang ditayangkan sore itu adalah Kráska a Zviera. Sebuah film animasi yang disutradarai oleh Gary Trousdale dan Kirk Wise. Versi asli dari film yang diproduksi Walt Disney Feature Animation itu adalah Beauty and the Beast. Atau dalam bahasa ibu saya, Si Cantik dan si Buruk Rupa. Film itu sendiri sudah mulai populer sejak tahun 1990-an. Sebenarnya film lama tetapi kata teman saya film itu menarik. Jadi saya nonton saja filmnya. Apalagi karcis sudah dibeli.
Lantas, apa yang menarik dari film tersebut? Tanpa mengabaikan bagusnya alur cerita dari keseluruhan film itu, saya coba langsung melompat pada ending ceritanya. Lompatan ini berpijak pada asumsi bahwa banyak pembaca sudah pernah menonton film dengan judul demikian. Apalagi sudah banyak film yang tayang dengan judul yang sama. Sekalipun setting dan aktrisnya berbeda toh isi dari film-film tersebut hampir sama saja. Lalu apa ending dari film Kráska a Zviera? Si Cantik (Belle) dan Si Buruk Rupa (Beast) bisa hidup bersama dalam satu kerajaan. Ketulusan, kebaikan, dan kecerdasan (diwakilkan dalam diri Belle) mampu merubah apa yang buruk dan jahat (diwakilkan dalam diri Beast). Perubahan itu terjadi tidak secara instan. Ia butuh waktu, kepercayaa, plus usaha dan kerja keras dari keduanya. Dalam proses itu kerap terjadi konfrontasi, kesalahpahaman, bahkan konflik. Point utamanya adalah Si Cantik dan Si Buruk Rupa bisa hidup bersama dan bisa saling merubah ke arah yang lebih baik.
Sepanjang film itu berlansung, bahkan masih berlanjut pasca film itu diputar, pikiran saya melangsa ke tanah air, Indonesia. Oleh peran yang dimainkan secara apik dari kedua tokoh utama film itu, Belle dan Beast, saya kemudian berpikir dan membayangkan atmosfer politik di wilayah DKI Jakarta saat ini. Tentu saja, sikap komparasi saya ini kelihatan agak nyeleneh, kalau tidak mau dibilang aneh. Mengapa? Setiap kali saya membuka media-media berita online tanah air yang dominan muncul, dan kerap sebagai berita utama, adalah kontestasi politik DKI Jakarta. DKI Jakarta menjelang pemilihan Gubernur 2017. Dalam pada itu, beberapa tokoh politik seringkali dimunculkan dalam pemberitaan. Karena sering diberitakan akhirnya tokoh-tokoh politik itu menjadi begitu familiar bagi penikmat berita, saya misalnya. Isi dari setiap berita itu tidak hanya soal keberhasilan menjalankan roda pemerintahan tetapi juga soal "konflik" antar para politisi. Ada daya tarik tersendiri untuk membaca atau mengikuti alur "konflik" antar politisi tanah air. Tetapi ini bukan soal sadisme atau masokhisme dalam analisa ilmu psikologi. Mungkin saya keliru, namun hal itu cukup dominan dalam catatan media-media audiovisual belakangan ini. Dan bisa jadi, oleh karena jabatan fungsional politis mereka publik kemudian terjebak dalam pandangan berikut: Konflik politis itu bukan lagi "perang" antar pribadi-politisi melainkan "perang" antar lembaga. Eksekutif di satu pihak dan Legislatif di pihak yang lain.
Litani panjang "konflik" antar kedua lembaga ini dalam negara demokrasi Indonesia terbilang panjang. "Perang" antar dua lembaga itu dapat dijejaki dari beberapa peristiwa berikut. Pro Kontra UU MD3 yang berujung dengan mundurnya Pa Basuki T. Purnama atau Pa Ahok dari partai Gerindra. Tarik ulur soal sah dan tidak sahnya Pa Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Pa Joko Widodo. Konflik rancangan APBD DKI Jakarta 2015 dan Kecilnya Penyerapan Dana Pembangunan. Lain lagi, kasus UPS (uninterruptible power supply) dan Rumah Sakit Sumber Waras. Atau yang aktual saat ini, penertiban Kalijodo. Dan yang lainnya. Litani ini mungkin akan terus dilantunkan sepanjang demokrasi itu berproses. Apa pun itu, dengan litani "konflik politis" ini publik diajari dan belajar bagaimana sesungguhnya problem bangsa ini. Termasuk siapa yang secara sungguh-sungguh mau dan rela mengurai kerumitan problem bersama tersebut.
Kembali ke cerita awal, Beauty and the Beast DKI Jakarta: Atau Ahok? Atau (Oknum) DPRD? Dengan cerita litani "konflik politis" di atas, plus hasil-hasil yang jelas dan terukur dari program pemerintahan DKI Jakarta saat ini (misalnya; Rumah Susun atau Relokasi Kampung Pulo, atau juga Kartu Jakarta Pintar, dll), publik memiliki pegangan yang cukup untuk bisa menentukan Beauty dan the Beast. Tentu saja masing-masing mempunyai standar sendiri dalam memberi penilaian. Dan saya menaru hormat untuk itu. Hanya saja problemnya adalah seringkali orang meracau bahwa keberhasilan merupakan kegagalan dan kegagalan merupakan keberhasilan. Aneh bukan? Tetapi sudahlah. Saat ini, hemat saya, tidak penting soal siapa yang terpilih sebagai beauty atau the beast. Yang urgen adalah kesadaran faktual atas co-habitasi dari dua lembaga tersebut, eksekutif dan legislatif. De facto, sebagaimana teorisasi trias politica, kedua lembaga itu mesti saling mengisi dan melengkapi; saling mengoreksi, memperbaiki dan mengubah tanpa direcoki kepentingan pribadi atau kelompok. Tujuannya hanya satu, demi mencapai kemaslahatan hidup bersama, bonum commune. DKI Jakarta saat ini bukanlah negeri dongeng. Namun mencita-citakan ending cerita animasi Beauty and the Beast di provinsi ibu kota negara ini adalah sesuatu yang normal dan wajar. Normal dan wajar bagi setiap orang yang membutuhkan perubahan sebagaimana termaktub dalam butir-butir Pancasila. Mungkin dengan itu bonum commune tidak tampak lagi sebagai sebuah utopia. Itu saja dulu deh. Wasalam. (Sumber gambar: Sumber foto: Lulung-Ahok©2013.Merdeka.com/wordpress.com)Â
 Bagas De'
Alumnus STFK Ledalero. Tinggal di Nitra, Slovakia.
Â