Saya tidak ingat, kapan terakhir berkunjung ke Bali. Beberapa tahun sebelum pandemi terakhir saya meninggalkan jejak di Bali. Memang peristiwa pandemi terkadang mengikis daya ingatan. Memori yang telah ditabung, hilang begitu saja. Mengapa saat itu tidak didokumentasikan.
Dua tahun pagebluk (demikian orang jawa menyebut) anggap saja sebagai pengingat waktu. Siapa tahu suatu ketika akan menjadi kenangan. Sebuah peristiwa yang tercetak dalam sejarah. Sebagaimana hari kemerdekaan Republik Indonesia yang bertanggal 17 Agustus 1945, sebagai tanda hari kebebasan dari penjajah.
Kesempatan kali ini, saya kembali menikmati harumnya tanah dewata. Negeri para Dewa. Sebuah hamparan tanah yang indah. Lekukan tanah menuangkan garis-garis ritmis, deburan ombak yang menyapu pantai, bagai seorang wanita menari legong, pandet atau puspanjali.
Perjalanan kali ini lumayan ringkas, dengan adanya jalan tol. Terasa singkat tapi kurang nikmat. di jalan yang lebar, halus dan nyaris lurus membuat seorang driver lebih santai mengendalikan steur, tapi harus cermat. Berbeda kalau lewat jalan klasik (non tol). di rute lama, kita akan disajikan karakter daerah per daerah.
Ada pengalaman yang cukup menarik saat melewati kota Mojokerto. Beberapa tahun silam, dalam sebuah acara family gathering ke Malang dan sekitarnya. Kami menggunakan kendaraan dua bus. Dalam perjalanan pulang, secara kebetulan, salah satu bus bersinggungan dengan sepeda motor, sehingga harus berurusan dengan polisi.
Rupanya pembicaraannya cukup rumit dan berbelit. Mungkin, kedua pengendara tersebut mempertahankan pendiriannya, tidak mau mengakui kesalahanya. Wal hasil, bus harus berhenti di salah satu polsek Trowulan. Kami menunggu cukup lama. Seloroh kami, "sesuk piknik nang polsek meneh".
Tentu saja, kami cukup masyghul. Menunggu tanpa kepastian. Bus yang diharapkan datang, cukup lama menampakkan diri. Namun, dalam sekelebat waktu, saya menjadi sadar dimanakah saya berada. Teringat Trowulan di masa silam. Benar, saya menapakkan kaki di bumi kejayaan. Trowulan adalah salah satu ibu kota kerajaan Majapahit. Sebuah monarkhi yang telah berkibar, bahkan wilayahnya melebihi negara Indonesia sekarang.
Majapahit merupakan kerajaan Hindu Budha yang terakhir di Nusantara, yang berdiri pada abad ke-13. Kerajaan ini pertama kali ditemukan oleh Raden Wijaya yang merupakan cucu dari Raja Singasari. Puncak kejayaannya terjadi pada abad ke-14. Ketika itu Majapahit yang berada di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk yang berhasil menguasai sejumlah wilayah di Nusantara dan sekitarnya.
Pada saat Kerajaan Singasari berada di ujung tanduk, cucu dari Raja Singasari, yaitu Raden Wijaya, melarikan diri dan meminta bantuan dari Arya Wiraraja. Dalam pelariannya tersebut Raden Wijaya membuat sebuah desa kecil di hutan daerah Trowulan yang diberi nama desa Majapahit.
Raden Wijaya berhasil membangun kekuatan dengan tambahan bantuan dari pasukan Kubilai Khan pada 1293 M. Pasukan tersebut lantas digunakan untuk membalaskan dendam runtuhnya kerajaan Singasari dengan menyerbu Jayakatwang. Namun, setelah Jayakatwang Tumbang, pasukan Kubilai Khan justru diserang oleh Raden Wijaya.
Keberhasilan itu membuat Raden Wijaya memimpin kekuasaan wilayah Jawa dan Majapahit. Ia juga dinobatkan sebagai raja pada tanggal 10 November 1293. Raden Wijaya pun memiliki gelar Kertarajasa Jayawardhana. Hal tersebut pun diyakini menjadi awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit.