Mohon tunggu...
Andi Muhammad Jafar
Andi Muhammad Jafar Mohon Tunggu... -

Dosen Filsafat Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Diskusi Ringan Tentang Hukum, Moral, dan Putusan Pak Sarpin

17 Februari 2015   02:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424089103670070922

[caption id="attachment_397403" align="aligncenter" width="460" caption="http://www.minjus.gob.pe/blog/opinion-y-analisis/los-derechos-en-la-obra-del-profesor-ronald-dworkin/"][/caption]

Beberapa tahunsilam ketika menempuh studi hukum di Semarang, Jawa Tengah, saya terlibat diskusi “ringan” dengan seorang kawan sesama mahasiswa hukum. Saya sudah tidak ingat persis kasus spesifik yang kami perbincangkan waktu itu, namun yang jelas inti diskusi itu ialah soal “keharmonisan” hubungan antara hukum dan moral.

Waktu mambahas kasus yang persisnya saya lupa itu, saya bilang “hukum selayaknya “dibaca” senapas dengan asas moral yang melandasi hukum itu”. Mendengar penyataan saya, sontak kawan saya ini merajuk, ia tidak terima, baginya hukum ya hukum, moral ya moral titik, lalu ia pun beranjak pergi.

Debat “ringan” kami beberapa tahun silam itu sebenarnya merepresentasikan perdebatan panjang oleh paling tidak dua kelompok besar pembelajar Hukum: Legal Positivism yang diwakili oleh kawan saya itu dan non-positivism legal studies (saya bilang non-positivism, meminjam istilah Profesor Theory Hukum New York University, Liam Murphy, karena strands kelompok ini sangat beragam) yang kira-kira saya wakili dalam debat itu.

Putusan Pra-peradilan kasus BG

Debat yang buat saya dan mungkin banyak orang sangat mudah ditebak kemana arahnya, sering berulang kalau tidak bisa dikatakan membosankan (soal hukum dan moral) ini kembali menyeruak setelah hakim PN Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, membacakan putusannya dalam sidang pra-peradilan yang dimohonkan oleh pihak BG hari ini senin 16 februari 2015. Namun ada yang berbeda kali ini, kawan debat saya beberapa tahun silam itu tidak bisa lagi mengabaikan argumen saya dan beranjak pergi begitu saja.

Ya, kini situasinya berbeda, ada begitu banyak orang yang tidak bisa terima dengan keputusan hakim Sarpin. Putusan hakim Sarpin dapat dibaca sebagai suatu putusan yang dibuat mana kala hukum dianggap sebagai institusi yang benar-benar steril dari moralitas. Artinya putusan ini merepresentasikan posisi yang diambil oleh kawan debat saya beberapa tahun silam itu.

Dalam pertimbangan “hukumnya”, hakim Sarpin menyatakan bahwa jabatan Karobinkar adalah di bawah deputi Kapolri di bidang SDM yang merupakan unsur pembantu pimpinan dan pelaksana staf dan bukan aparat penegak hukum. Selain itu Karobinkar merupakan jabatan administratif dengan golongan eselon II A-1 dan bukan termasuk penyelenggara negara mengingat jabatan itu bukan eselon 1. Negara pun tidak dirugikan oleh tindakan BG menerima hadiah atau janji (seandainya terbukti dipengadilan), melainkan penyalahgunaan kekuasaan (beritasatu.com, 16 februari 2015)

Atas pertimbangan itu, hakim menyatakan mengabulkan permohonan prapradilan sebagian; memerintahkan sprindik yang menetapkan pemohon sebagai tersangka oleh termohon adalah tidak sah dan tidak berdasarkan hukum; menyatakan penyidikan yang dilakukan termohon adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum dan oleh karenanya penyidikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; menyatakan penetapan tersangka adalah tidak sah; menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap diri pemohon; membebankan biaya perkara kepada negara; menolak permohonan pemohon prapradialn selain dan selebihnya. (metrotvnews.com, 16 februari 2015)

Perbedaan Pendapat

Reaksi yang timbul pasca pembacaan putusan pak Sarpin sungguh luar biasa. Setidaknya saya mengidentifikasi dua kelompok besar. Pertama, kelompok yang menerima putusan ini dengan suka cita, kelompok ini sebagian besar ialah pihak-pihak yang menginginkan agar BG segera dilantik sebagai Kapolri. Umumnya mereka memakai argumentasi legal yang keras bahwa putusan pengadilan adalah sah dan mengikat secara hukum titik.

Kelompok kedua adalah yang tidak bisa menerima keputusan pak Sarpin. Kelompok ini dapat saya bagi lagi menjadi dua kelompok turunan. Pertama, mereka-mereka yang menggunakan argumentasi hukum yang keras pula sama seperti kelompok pendukung BG. Bedanya, mereka tidak sependapat dengan dengan logika hukum (legal reasoning) yang dipakai hakim Sarpin dalam pertimbangan dan putusannya itu sendiri. Bagi saya, pendapat kelompok ini agak dilematis, sebab hakim memang diberi kewenangan untuk menafsir peraturan perundangan yang ada. Sekalipun dibatasi oleh kewenangannya, saya kira pak Sarpin memang memiliki hak diskresi.

Kelompok terakhir ialah mereka yang menggunakan argumentasi moral. Bagi kelompok ini –yang saya termasuk di dalamnya-, pertimbangan moral oleh hakim harus senantiasa mewarnai atau senapas dalam pertimbangan hukum itu.

Dari Legal ke Moral

Putusan hakim Sarpin buat saya ibarat putusan hukum yang tengah menggali kuburnya sendiri. Putusan ini sekali lagi menampilkan bagaimana wajah hukum zonder-moral ibarat manusia yang tak bernyawa. Hukum dalam kacamata legal positivism ini dipahami sebagai entitas objektif yang real eksis di luar sana terpisah dari moral manusia (human consciousness).

Penganut positivisme hukum sebenarnya tidak sepenuhnya membantah kemungkinan bahwa hukum bisa saja pada situasi tertentu sejalan dengan dengan moral. Mereka juga bukannya anti-moral seperti kesalahpahaman banyak pihak selama ini. Yang menjadi masalah ialah penganut positivisme hukum tidak menjadikan moralitas sebagai syarat validitas hukum.

Akibat dari pandangan ini bisa kita lihat sendiri dalam putusan hakim Sarpin. Hukum terserabut dari akar moralitasnya. Manusia yang senantiasa menciptakan nilai dan makna dalam memahami realitas melalui pengalaman-pengalamannya seakan berhadapan dengan kebuntuan. Apa yang baik dan benar menurut moral manusia diabaikan dengan dalih objektifitas.

Saat ini saya tidak sendiri, beberapa kawan yang dulu membela mati-matian dalil-dalil positivisme hukum, kini berbondong-bondong mengecam putusan hakim Sarpin dengan argumentasi moralitas (publik).

Dalam konteks itu, saya harus “berterima kasih” kepada hakim Sarpin, sebab melalui putusannya yang menampilkan garis batas antara hukum dan moral dengan sangat terang benderang itu, kini kita dapat melihat begitu banyak orang yang mengambil posisi berpeda. Suara moralitas publik kini makin keras dan menyeruak.

Publik saat ini tinggal menunggu keputusan Presiden tentang melantik atau tidak melantik BG sebagai Kapolri. Tentang bertumpu pada pertimbangan "legal" semata-mata atau berpaling pada keyakinan moralitas publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun