Oktober 1998
Pagi-pagi sekali Maryam sudah menyulut api pada tungku beton yang dibuat suaminya dari sisa semen dan pasir yang diperolehnya saat menjadi kuli bangunan. Maryam bangun jauh sebelum jago merah kesayangan si bungsu meneriakkan alarm rutin yang kemudian bergegas keluar kandang untuk menjajakan sperma pada para betina tetangga.
Selama sepuluh bulan si jago merah di pelihara, entah sudah berapa kali si jago kawin dengan para betina nakal itu. Maryam juga tak pernah tahu sudah berapa telur yang barangkali berhasil di tetaskan atau malah berakhir di wajan panas si tuan rumah pemilik betina.
Anwar, si bungsu yang baru dua bulan masuk taman kanak-kanak bangun tepat setelah nasi, sayur lodeh dan sambel korek bikinan Maryam tertata rapi pada meja makan kayu yang sengaja tak di beri alas. Siapapun dapat melihat dengan jelas bekas tumpahan kuah sayur serta ceceran nasi yang telah mengering. Bekas tersebut terlihat seperti jejak iler Anwar pada bantalnya.
Di lain waktu ketika nyawa belum sepenuhnya terkumpul, bekas tersebut terlihat seperti lukisan abstrak cantik yang terpajang pada dinding museum. Walau jelas saja tak secantik Maryam sebelum di pinang kemudian melahirkan empat ekor anak manusia yang merepotkan.
Tangan mungil Anwar meraih piring kaca hadiah sabun cuci yang biasa Maryam beli dari warung sembako Cik Hety, juragan sembako dipasar. Sekalipun matanya masih penuh belek yang setengah mengering, Anwar hafal betul dimana letak centong kayu yang akan ia gunakan untuk mengikis setumpuk nasi dalam ceting bambu yang sudah kehilangan raganganya.
"Raup sek."
Suara Maesaroh si anak ke dua membuat Anwar mengurungkan niat. Ia tak akan bisa menikmati nasi hangat dengan sayur lodeh sebelum belek pada matanya minggat. Anwar menyeret kakinya yang bersandal kebesaran beda warna menuju kamar mandi belakang rumah.
Dalam kamar mandi yang sebenarnya lebih layak dibilang sumur dengan bilik bambu penuh lubang tersebut Anwar tak langsung mencuci belek. Anwar membuka celana kolor kedodoran bekas kakak pertamanya, Hanafi. Terlihat burung emprit yang tadinya meringkuk dibalik celana mendadak bangun sembari memuntahkan air beraroma pesing yang sudah ditahannya sedari malam.
Burung emprit sudah kembali meringkuk di balik celana kolor kedodoran, belek kering pada mata Anwar juga sudah minggat. Air pesing yang keluar dari mulut si burung emprit sengaja tak disiramnya. Anwar berharap Maesaroh menjadi orang pertama yang masuk kamar mandi. Pria kecil itu memang selalu penuh dendam.
Anwar tak langsung masuk rumah, ia belok ke kandang ayam tempat si jago merah dan ayam peliharaannya yang lain mengurung diri. Anwar yakin sekalipun belek pada matanya telah minggat, ia tak akan serta merta diijinkan menikmati nasi dengan sayur lodeh sebelum seluruh anggota keluarganya berkumpul.