BANTEN - "Jangan jadikan perbedaan suku, agama dan ras itu untuk saling menghina dan memecah belah," pesan itu disampaikan  Ulama kharismatik asal Banten, KH. Hasan Basri  dalam ceramahnya di Pondok Pesantren MIftahul Ulum Al-Qusyairi, Ahad 12 Desember 2022.Â
"Umat Islam punya tanggungjawab untuk menjaga dan melindungi masyarakat dari perpecahan, menjaga Ketentraman. Ulama punya tanggungjawab untuk mencegah dan melarang bila ada upaya merusak lingkungan," ucap Kiai Hasan Basri, yang disambut dengan tepuk tangan jamaah.Â
Ia, bahkan berharap dalam kondisi apapun, baik itu suhu politik, baik itu suhu ekonomi, persaudaraan adalah utama, jangan sampai pecah belah membuat hidup kita menjadi tidak rukun.
"Jangan sampai pecah belah dengan yang lain. Yang muslim dan non muslim tetap indah, rukun dan guyub," tambahnya.
Hal itu juga menurutnya, jika melihat agenda politik nasional kita di pemilu 2024 tentu saja akan tercipta suhu politik yang panas, maka mau tidak mau, kita bisa tetap mengademkan diri, jangan biarkan semua momentum bangsa itu merusak persaudaraan.Â
"Dalam hal politik, beda pilihan biasa. Tidak boleh bermusuhan. Mau ke mana, pilih siapa tidak ada masalah bagi orang Muttaqin. Yang takut kepada Allah, beda pilihan politik nggak ada masalah. Harus baik dengan tetangga dan kerabat dekat walaupun beda pilihan," jelasnya lagi.
Tidak lupa juga, ulama kharismatik asal Banten itu menghimbau agar para penceramah-penceramah juga menyampaikan sesuatu yang bikin adem, tidak berbicara politik praktis.Â
"Agama itu memberi nasehat, berikan arahan yang benar kepada pemerintah. Ini negara kesepakatan, diputuskan oleh majelis ulama, tidak boleh kita merusak dan mengganggu persatuan, kesatuan dan kemaslahatan bangsa," ujarnya.
"Ibarat kalau ada rumah yg bocor, gentingnya aja yg dibenerin, bukan rumahnya yg dirobohkan," imbuhya.
Mengingat akan ada banyak pilihan politik yang berbeda, persatuan dan kesatuan adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar-tawar, kita harus hidup damai, biarkan kehangatan politik berada di ruang wacana, tapi jangan di kehidupan realitas berbangsa dan bernegara.*