Mohon tunggu...
A Z
A Z Mohon Tunggu... -

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Namanya Paijo Sih, Pantesan Kalah

2 Maret 2013   00:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:28 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Libur adalah sesuatu yang langka bagi seorang wartawan. Makanya ketika saya mendapatkan cuti selalu saya gunakan waktu sebaik mungkin. Selama libur tersebut saya selalu melepaskan diri dari segala hal yang berkaitan dengan jurnalistik. Tidak melihat berita di televisi, mematikan radio, tidak baca Koran, tidak mengakses internet. Bahkan ponsel pun hanya saya nyalakan ketika saya keluar rumah atau ketika istri tidak di rumah agar bisa mudah berhubungan kalau ada sesuatu. Jika istri di rumah, maka ponsel pun saya matikan.

Tapi cuti kali ini saya mendapat pukulan telak dari dua anak saya.Suatu sore, mereka mengajak saya untuk bermain Tamia, mobil balap yang bisa dirakit sendiri. “Oke,” saya pun menyanggupinya. Mumpung lagi cuti bisa bermain dengan anak-anak yang biasanya cuma saya bisa temui saat mengantar sekolah saja.

Kami pun sibuk merangkai Tamia. Sejak awal saya sudah dicurangi dengan diberikan komponen-komponen yang sudah usang plus batre yang sudah lemah. Selesai merangkai kedua anak saya pun melanjutkan tantangannya untuk adu balap Tamia. Ya terang saja punya saya kalah.

Kedua anak saya senangnya minta ampun bisa mengalahkan ayahnya. Mereka pun sepakat untuk memberikan nama mobil mereka. “Punyaku namanya The Dragon,” kata Ihza, anak saya yang tua. Moza, adiknya pun tak mau kalah. “Punyaku tak kasih nama The Champions,” katanya.

“Punya Ayah namanya apa?” Tanya Moza. Saya pun menjawab sekenanya “Namanya Paijo,” kata saya.

Tanpa saya duga sama sekali jawaban saya itu membuat kedua anak yang masih duduk di bangku kelas IV dan II SD itu tertawa terbahak-bahak. Benar-benar tertawa yang menurut saya luar biasa untuk sebab yang menurut saya sepele itu. Bahkan Ihza sampai lari ke kamar mandi karena ingin pipis gara-gara tertawa.

“Kenapa tertawa?” Tanya saya.

Mereka terus tertawa sampai kemudian Ihza dengan santai berkata “Namanya Paijo sih, pantesan kalah,” katanya. Kedua anak itupun melanjutkan tertawa mereka.

Jawaban itu membuat saya jujur saja tersentak. Bagaimana dua orang bocah ini bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa apapun yang berbau lokal atau Indonesia pasti kalah dengan yang berbau luar negeri. “The Champions, The Dragon,” jelas kata-kata yang menggambarkan produk asing. Sementara ‘Paijo’ pastilah orang akan menciumbau Indonesia pada kata itu.

Tetapi apa boleh buat, pemahaman bahwa Indonesia adalah negara pecundang sudah begitu mengakar di benak banyak orang. Bahkan pada dua bocah ini.

Tetapi apa salah jika mereka punya pemahaman semacam itu? Apa iya kita harus menuding dua anak ini tidak punya rasa nasionalisme sama sekali? Ah, mana mereka tahu soal nasionalisme di usia semacam itu. Anak-anak adalah sosok yang paling jujur di dunia. Dia hanya mengatakan apa yang dia terima setiap harinya. Dan faktanya, setiap hari bocah-bocah ini sudah dijejali dengan berbagai hal yang mengisahkan tentang hebatnya produk asing.

Televisi, yang menjadi salah satu alat penyampai pesan dan nilai kepada anak-anak begitu hebatnya mengguyur pemikiran bocah dengan hal-hal yang berbau asing. Ya, saya harus pahami ada beberapa acara yang bagus buat anak. Macam Bocah Petualang (Bolang) yang jujur saya sangat senang dengan acara tersebut. Tetapi ketika acara itu diputar, sebagian besar anak-anak masih di sekolah.

Sementara ketika sore hari, tokoh-tokoh asing menjadi raja. Dari Spongebob, The Saun, Naruto, dan teman-temannya menjadi tontontan utama. Malam sedikit, sinetron dengan gaya kebarat-baratan dan alur cerita yang mbulet mendominasi. Ada beberapa stasiun televise yang menghadikirkan sinetron berbau Indonesia, setidaknya dari pakaian yang ala pendekar-pendekar atau raja masa lalu. Tetapi pernah saya mengajak anak melihat acara itu komentarnya juga lucu. “Lho kok ularnya kok aneh. Kelihatan banget kalau itu bohongan. Jelek Yah!” Waduhh…

Sebagian stasiun lain juga ada acara yang menggunakan gaya tradisi semacam wayang. Tapi isinya tidak karu-karuan. Pokoknya yang penting bisa bikin tertawa dan senang.

Mencari buku yang berkisah tentang Indonesia asli pun susahnya minta ampun. Dulu, ketika saya SMP di perpustakaan sekolah ada komik wayang Mahabarata. Saya cari lagi buku itu tidak ketemu lagi. Maksudnya biar bisa dibaca oleh dua anak saya agar tak melulu baca komik barat semacam Donald Duck atau Detektif Conan atau Naruto.

Ada di rumah buku Nagasasra Sabuk Inten tulisan SH Mintardja yang mengandung nilai sejarah Indonesia. Tetapi, kedua anak saya belum mampu membaca buku yang bergaya novel semacam itu. Akhirnya ayahya yang suruh membacakan dari awal hingga sekarang sudah masuk ke jilid III. Sama ketika diberi buku Ramayana oleh simbahnya. Ayahnya yang membacakan dari sejak Shinta diculik sampai Rahwana mati.

Kalau seperti ini apakah salah jika kemudian memang anak-anak berkata “Namanya Paijo sih pantesan kalah?” ya karena sulit sekali menemukan Paijo yang hebat. Ya bagaimana tidak sulit karena orang lebih suka menayangkan ‘The Champions’ dan ‘The Dragon’ itu. Kalau mau pasti banyak ‘Paijo’ yang hebat.

Sebenarnya ketika muncul ‘Paijo’ yang bernama mobil Esemka, terlihat sebenarnya orang Indonesia cukup merindukan sebuah prestasi dalam negeri. Meski sebenarnya kita sangat terlambat dalam hal itu. India, sudah lama sekali memiliki mobil nasional. Malaysia pun juga.Makanya di berbagai forum debat, Indonesia dibantai betul oleh orang Malaysia terkait mobil itu. Mobil nasional seharusnya sudah ada sejak 20 tahun yang lalu. Masa baru sekarang dan itupun hebohnya minta ampun.

Semua itu menunjukkan bagaimana selama ini Indonesia memang benar-benar payah dalam soal identitas. Semua berkiblat ke barat. Teknologi semua buatan luar negeri. Apa tidak bisa memproduksi sendiri? Bahkan gilanya lagi, bahan makanan pun dari luar negeri. Negeri agraris macam apa jika beras, kacang, kedelai, gula, bahkan gaplek saja mengimpor. Luar biasa benar negeri kita yang bernama INDONESIA ini.

Kita itu kalau ada budaya atau kesenian yang diklaim negara lain marahnya minta ampun. Lihat saja ketika reog, angklung, tari pendet diklaim Malaysia. Wuih, sepertinya tidak tahan maunya perang saja sama negara tetangga itu.

Tapi coba lihat, kalau ada pentas angklung, berapa yang melihat? Jujurlah berapa orang muda negeri ini yang pernah melihat tari pendet, gambyong, srimpi dan lain sebagainya. Beberapa kali saya melihat pentas ketoprak tobong, walahhhh yang nonton kadang cuma 10 orang itupun sudah kaum pinisepuh. Sementara coba lihat tempat dugem. Pasti selalu penuh setiap malam.

Begitu kok marah ketika negara lain mengklaim budaya Indonesia. Marah itu kalau selama ini kita serius menjaga kesenian tersebut kemudian diklaim orang lain. Kalau kondisinya seperti itu layak kita hajar ramai-ramai.

Lha ini dijaga saja tidak pernah wajar dong dicuri. Rumah tidak pernah dikunci, kemudian maling masuk rumah kok yang dimarahin malingnya. Marahin diri sendiri kenapa tidak mengunci rumah! Sudah begitu sering banget kemalingan. Kok tetap saja rumah tidak dikunci. Ya malingnya dimarahin cuek saja. “Ah paling marah doang besok diem dan kita curi lagi karena tetap saja pintunya gak dikunci kok” kira-kira begitu kalau saya yang jadi malingnya.

Sekitar dua tahun lalu saya juga dibuat malu bukan main dengan anak saya. Pernah suatu malam saya menceritakan tentang Gatotkaca. Saya menggambarkan sebagai jagoan yang luar biasa. Tidak tertandingi pokoknya.

“Sama Naruto hebat mana yah?” Tanya anak saya.

“Wooo ya hebat Gatotkaca,” kata saya.

“Tapi Naruto punya kyubi dan punya ilmu seribu bayangan lho Yah,” anak saya masih ngotot.

“Hmmmm Gatotkaca punya ilmu ajian Narantaka dan Brajamusti. Gunung Merapi dipukul pakai ajian itu hancur. Dia juga bisa terbang wuss wuss wuss ,” saya pun tetap ngotot memperjuangkan Gatotkaca agar lebih hebat dari Naruto. Dan tampaknya anak saya pun meyerah dan mengakui Gatotkaca adalah hebat.

Tetapi sialnya, suatu sore saya jalan-jalan dengan istri dan dua anak saya. Sampai di sebuah perempatan kami berhenti karena memang terkena lampu merah. Celaka habis, ada pengamen beraksi dan sialnya pengamen itu menggunakan pakaian Gatotkaca. Dia menari-nari sambil mengedarkan kotak minta uang dari satu pengguna jalan ke pengguna jalan yang lain.

Dua anak saya melihat kejadian itu. Saya mulai khawatir tetapi masih diam saja dan berharap mereka tidak bertanya apapun. Tapi salah, akhirnya salah satu dari mereka bertanya juga.

“Itu orang apa to Bunda. Kok pakaiannya aneh,”

Bundanya yang duduk di jok belakang dengan santai menjawab “Ya itu Gatotkaca,”“Mampus,” pikir saya

Benar saja. Anak saya langsung protes “Lho Yah, katanya Gatotkaca itu hebat. Tetapi kok ngamen???” Coba saya mau jawab bagaimana?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun