Mohon tunggu...
Amirullah Arsyad
Amirullah Arsyad Mohon Tunggu... -

Manusia Biasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Unhas dan Manusia-manusia Primitifnya

18 November 2011   20:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:29 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Relakan kami padamu pertiwi

Izinkan kami bagimu pertiwi

Almamater Universitas Hasanuddin

Karunia Ilahi

Penggalan bait lagu diatas adalah ikrar yang hari ini sulit saya deskripsikan bagaimana pengejawantahannya. Ya Unhas atau akrab dengan julukan kampus merah adalah patronase dunia pendidikan khususnya di Indonesia timur. Ada kebanggan tersendiri ketika predikat sebagai mahasiswa unhas melekat dalam jenjang pendidikan kita. Kampus ini tiap tahun melahirkan ribuan alumni yang siap mengabdi untuk masyarakat sebagai wujud dari tri darma perguruan tinggi. Unhas adalah tempat belajar, belajar bukan hanya dari sudut pandang pragmatis bahwa unhas adalah jalan untuk mendapat gelar sarjana, setelah lulus kemudian diserap lapangan pekerjaan untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Tetapi kalau fakta bahwa mahasiswa unhas pragmatis berarti ada sesuatu yang salah. Apakah itu sistemnya atau mahasiswanya yang memang tidak bisa menghargai proses. Dan fakta hari ini relevan kalau dikaitkan dengan filsafat nietsche dengan mazhab behavorialnya yang mengatakan bahwa manusia hanya membutuhkan tempat tinggal, makanan, dan kebutuhan biologis (Seks). Apakah teman-teman mahasiswa hari ini adalah seorang Nietscheisme sejati?? Nietsche yang dengan gagahnya mengatakan "God is dead, Tuhan telah mati".

Secara institusi saya tidak pernah menyalahkan Unhas sebagai sebuah lembaga pendidikan, yang hari ini disoroti karena sebagian mahasiswanya bertindak primitif. Karena selama saya mengikuti perkuliahan tidak pernah diajarkan bertindak seperti manusia purba yang baru belajar berburu dengan menggunakan batu atau sesuatu yang dapat melumpuhkan buruan. Dari persfektif saya manusia purba masih lebih sedikit beradab dari manusia primitif versi modern karena yang mereka buru adalah sesuatu yang digunakan untuk menyambung hidup artinya manfaatnya besar dan mudaratnya kecil. Manusia primitif versi modern, saya katakan modern karena ini sudah tahun 2011 bos. Manusia primitif versi modern lebih sadis karena memburu sesuatu yang memiliki ciri-ciri fisik yang sama dengan mereka, atau bahasa ilmiahnya kanibal. Ya di samping primitif ternyata juga penganut kanibalisme sejati. Manusia primitif di samping cenderung melindungi kelompoknya dengan asumsi solidaritas juga manusia maha narsis. Ada kebanggaan tersendiri ketika mereka berhasil membela kelompoknya tanpa ada tendensi benar salah. Kebanggaan semu yang membuktikan akutnya kedangkalan berpikir. Manusia-manusia primitif adalah mahluk perasa yang gampang terprovokasi, yang psikoanalis dalam menyelesaikan masalah dan sama sekali tidak logis. Atau dalam dunia asmara yang katanya posesif, melibatkan perasaan dan dapat melumpuhkan logika. Ahh kayak cewek saja.! Hhehe

Apakah deskripsi diatas adalah potret mahasiswa unhas? Saya ingin pembaca yang menarik konklusinya. Apakah mewakili seluruhnya atau sebagian? dampak dari prilaku manusia primitifnya? dan mungkin masih banyak sekali pertanyaan yang menggelayut di benak kita. Tetapi di sini kita akan lebih spesifik membahas dampaknya yang sistemik. Selama ini ada mitos yang berkembang bahwa rekruitmen tenaga kerja baik di ruang lingkup pemerintahan maupun swasta menjadikan bendera sipelamar sebagai sebagai salah satu platform penentu kapabilitas sipelamar khususnya masalah attitude. Saya katakan mitos karena saya tidak pernah menyelidiki secara ilmiah benar salahnya, tetapi ini adalah wacana umum yang biasa kita dengar. Mungkin setelah teman-teman sarjana dan menenteng map dari satu perusahaan ke perusahaan lain baru merasakan indikasi sosial dari kampus mana teman-teman mengenyam pendidikan. Ataukah teman-teman tidak perlu melamar pekerjaan karena sudah mewarisi harta kekayaan yang cukup untuk tujuh turunan.

Dan sebelum pembahasan ini berakhir ada berapa hal yang seharusnya kita uraikan sekaligus membantah persepsi publik terhadap kampus merah yang kita cintai ini. Karena saya yakin teman-teman banyak yang tidak sepakat dengan isi tulisan ini, mungkin ada yang menilai bahwa tulisan ini hanyalah akumulasi dari berapa peristiwa yang memalukan almamater kita. Saya juga ingin memastikan yang memberikan penilaian seperti itu adalah mahasiswa sosial atau mungkin mahasiswa yang pernah mengharumkan almamater kita dengan setumpuk prestasi. Bukan mahasiswa primitif, apatis, fanatik kultur atau dan lain-lain sebagainya yang tidak satupun definisi yang bisa menyimpulkan bahwa ia adalah seorang manusia.

"Unhas rusuh" dan seketika langsung menjadi headline di media. Tidak tanggung-tanggung hampir semua media nasional meliput dengan kemasan provokatif seolah-olah kampus ini hanyalah pencetak generasi abal-abal. Didesain sedramatisir mungkin sampai wajah pimpinan kampus di munculkan pada saat melerai tawuran. Seketika itupula frame bahwa unhas sebagai salah satu perguruan tinggi populer dengan peminat yang bukan hanya skala indonesia timur tetapi sudah menasionalisasi bergeser 180 derajat dan kemungkinan animo pendaftaran pada tahun depan akan anjlok. Why always Unhas?. berbau politis? iyya, tapi saya tidak punya kapasitas untuk menjelaskannya karena saya bukan pengamat politik. Kontrasnya adalah ketika kampus ini mengukir prestasi baik skala lokal, nasional, bahkan global kok tidak menjadi headline media. Mungkin masih segar diingatan teman-teman mahasiswa khususnya fakultas hukum pada tahun 2009 ketika kontingen unhas menjuarai debat konstitusi tingkat nasional dan larut dalam euforia. Di liput sih iya tapi tidak seheroik ketika terjadi kerusuhan dikampus ini. Aneh bin nyata.! Sebuah fakta empiris ketika giliran mengukir Prestasi kalau diibaratkan dalam sebuah buku hanya menjadi footnote (Catatan kaki), kemudian di tumpuk di rak yg berdebu. Hanya konflik horisontalnya yang di pelintir menjadi opini publik, kemudian inilah yang menjadi paradigma umum bahwa mahasiswa indonesia timur Anarkis & dijadikan alasan untuk menyeleksi mereka di dunia kerja. Mahasiswa sosial adalah korban over generalisasi dari mahasiswa Asosial. Jadi ketololan terbesar adalah ketika menyeleksi bukan karena skiil atau kolektifitas tapi dengan Melihat bendera (Institusi). Unhas besar bukan karena Unhasnya (red:namanya) tapi karena orang-orangnya begitupula sebaliknya.

Manusia adalah binatang yang rasional.!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun