Pendahuluan:
European Union Deforestation Regulation (EUDR) merupakan kewajiban uji tuntas bagi perusahaan yang memasok barang-barang terkait deforestasi dan degradasi hutan ke pasar Uni Eropa. Komoditas yang tercakup dalam aturan ini termasuk daging sapi, cokelat, kopi, minyak kelapa sawit, karet, kedelai, dan kayu. Berdasarkan EUDR, ketujuh komoditas dan produk turunannya harus mematuhi persyaratan ketat terkait deforestasi dan degradasi hutan agar dapat dijual atau diekspor ke pasar Uni Eropa. Aturan ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan dan transparansi dalam rantai pasokan global, serta mendukung upaya perlindungan lingkungan di tingkat internasional.
Isi:
Uni Eropa akan mulai menerapkan Peraturan Deforestasi (EUDR) pada Januari 2025, yang mengharuskan perusahaan yang menjual komoditas terkait deforestasi, termasuk minyak kelapa sawit, untuk memenuhi standar keberlanjutan yang ketat. Peraturan ini dibuat sebagai langkah untuk mengurangi kegiatan penebangan hutan atau deforestasi global dan melindungi hak-hak masyarakat adat.
Berdasarkan EUDR, komoditas seperti minyak sawit hanya dapat dijual di Uni Eropa jika diproduksi tanpa menyebabkan deforestasi setelah 31 Desember 2020. Produsen juga diwajibkan untuk menerapkan sistem uji tuntas yang mencakup penelusuran rantai pasok dengan informasi geolokasi yang rinci. Indonesia, sebagai salah satu penghasil minyak sawit terbesar di dunia, dianggap berisiko tinggi terkait deforestasi, sehingga harus mematuhi aturan ini jika ingin tetap bisa mengekspor ke pasar Uni Eropa.
Namun, kebijakan ini memicu reaksi dari pemerintah dan pelaku industri kelapa sawit di Indonesia. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan pemerintah telah meminta Uni Eropa menunda penerapan kebijakan ini hingga 2026, dengan alasan bahwa petani kelapa sawit, terutama petani kecil, belum siap sepenuhnya menghadapi persyaratan yang ketat ini.
Meski begitu, pemerintah Indonesia melihat kebijakan ini sebagai dorongan positif untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit. Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, Dida Gardera, menegaskan bahwa upaya revitalisasi Sertifikasi Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) sudah berjalan sebelum adanya kebijakan EUDR, yang kini telah diperluas hingga ke sektor hilir. Menurutnya, perbaikan ini bukan dikarenakan oleh pengaruh Uni Eropa, tetapi sebagai bagian dari rencana jangka panjang Indonesia untuk menerapkan praktik keberlanjutan.
Kesimpulan:
Penerapan kebijakan EUDR oleh Uni Eropa memberikan tantangan besar bagi industri kelapa sawit Indonesia, terutama terkait persyaratan keberlanjutan dan penelusuran rantai pasok. Meskipun kebijakan ini dinilai dapat mempersulit ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa, pemerintah Indonesia melihatnya sebagai kesempatan untuk memperbaiki tata kelola dan meningkatkan daya saing di pasar internasional. Langkah-langkah seperti revitalisasi ISPO dan penerapan traceability diharapkan dapat memfasilitasi kepatuhan industri kelapa sawit terhadap standar EUDR.