Perjalanan saya dari Kediri menuju Jember berhenti di Kota Batu, menikmati bebek goreng sambel ijo di alun-alun Batu. Menu pedas sangat mantap disuguhkan dalam suasana hujan sore ini. Apalagi kalau santap sore ditemani oleh kekasih pujaan. Walaaadalaa. Jam tangan digital menunjukan ke angka 15.00 memasuki waktu ashar. Sembari menunggu Si Hujan mereda sekaligus mendinginkan emosi Julia Peres (Jupe) yang sedari tadi protes marah-marah kecapekan. Jupe, panggilan mesra untuk sepeda motor Jupiter MX butut yang setia menemani kuliah dan jalan-jalan, duuuh setianya.
Setelah tulang bebek, sambel ijo dan tumis kangkung habis tak bersisa, perjalanan dilanjutkan. Aahh masih gerimis juga.
Melintasi dinginnya Kota Malang, ada suasana baru yang terlihat menawan, utamanya di kawasan jembatan panjang yang membujur di jalan Juanda. Pemandangan unik-indah pemukiman warga yang worna-warni penuh warna, seperti hidup kita yang terkadang suka dan sering kali duka, apalagi kala cinta ditolak sama si dia.. hiikk. Tapi cius, pemukiman warga yang sebelumnya terlihat biasa saja bahkan terkesan morat-marit kumuh, kini tampak sangat apik-indah, menyejukkan mata siapapun yang memandangnya.
Jupe yang saya tunggangi memaksa manja untuk berbelok gapura lokasi parkiran yang ramai dengan kendaraan, ada tulisan dengan spaduk besar: Selamat Datang di Lokas Wisata Kampung Tridi (3D). Lokasinya menurun, lebih rendah dari jalan utama Juanda. Terpaksa saya parkir juga, nggak terpaksa juga sih, sengaja. Petugas parkir yang didominasi oleh pemuda merupakan warga asli perkampungan penuh warna ini, dan jangan heran jika diantara mereka banyak yang masih bersekolah, karena memang pengelolaan wisata Kampung Tridi dilakukan secara bersama oleh penduduk dengan bergotong royong dengan pengurus karang taruna. “Izin parkir, Mass,” kata saya yang dibalas dengan senyum ramah petugasnya.
Kaki saya terus melangkah lebih dalam masuk perkampungan, menuju bibir sungai, ditemani gerimis sore yang masih menyisakan rindu, dan pilu. Waaak. Kanan dan kiri jalan semakin penuh dengan gambar-gambar dan lukisan pemanen di dinding rumah-rumah warga. Paduan warna di gambar-gambar 3D membuat kesan seolah-olah gambar tersebut adalah gambar hidup. Hingga tibalah saya di bibir sungai yang bersih, berbeda dari umuumnya sungai di Indonesia yang membawa kesan kumuh. Di seberang sungai terlihat perumahan warga yang sama warna-warninya, kampung seberang sungai inilah yang disebut dengan kampung warna-warni.
Sambil menikmati kerupuk pisang di rumah Mbak Kusmiati, saya mendengarkan cerita-cerita asik beliau yang bangga dengan kampungnya ini. Sebelumnya kampung tersebut kumuh, sekarang menjadi sangat bersih. Warga yang semula membuang sampah di bantaran sungai, kini malu jika masih melakukannya lantaran sungai bersih dan menjadi tempat bermain yang nyaman untuk anak-anak serta pengunjung yang ada. Memang setelah saya amati kondisi sepanjang jalan Kampung Tridi bebas dari sampah. Selain itu Mbak Kus merasa senang karena banyak pengunjung yang datang, “Pasti karena daganganmu yang dulu sepi sekarang menjadi laris kan, Mbak,,, xixixi”.
Ke depannya, sungai yang memisahkan Kampung Tridi dengan kampung warna-warni akan dibendung, diberi panggung di atas sungai untuk hiburan warga dan dipercantik dengan jembatan kaca yang akan menghubungkan kedua perkampungan ini. “Siapa tau saja Cak Mbeling bisa semakin dekat dengan wanita pujaannya, Yuk Sarmi.. Hehehe”.
Belajar dari dua kampung indah ini, ternyata untuk membangun kota tidak perlu dengan menggusur perumahan warga yang berdiri di atas tanah aset negara, justru masyarakat akan semakin tertarik ikut serta membangun kotanya apabila diajak oleh pemerintah untuk bekerja sama, dengan begitu masyarakat bantaran sungai semakin PD bahwa mereka juga golongan manusia yang seyogyanya menjaga kebersihan sekitarnya. “Rakyat dan pemerintah bukan musuh yang harus saling mencaci maki dan beradu, rakyat dan pemerintah ibarat lirik dan musik yang harus berpadu untuk menghasilkan irama lagu yang merdu!”