[caption caption="#MOTIVASI DIRI"][/caption]
Hari ini satu lagi tulisan “corat-coret” bertengger manis di dinding kamar. Hobi tempal-tempel seperti ini sudah berlangsung sejak lama sekali (baca:dahulu kala). Bukan sekedar iseng dan tanpa tujuan. Seringkali kegiatan seperti ini (tempal-tempel) dilakukan untuk meluapkan suatu perasaan, mengkritik atau memuji sesuatu, juga doa serta cita-cita atau harapan yang diinginkan, dan seperti saat ini untuk menuliskan suatu komitmen yang berusaha keras untuk dijalankan pasca penempelan. Tulisan singkat dan sederhana, “ 1 day, 1 article (baca:one day one article)”—satu hari, satu artikel--, yang bertengger kokoh tepat di tembok sudut kamar kos, di depan tempat yang biasa saya pakai untuk sholat.
Sederhana saja alasannya, “kekasih saya menginginkan saya menjadi penulis”, padahal saya paling malas untuk menulis, bahkan untuk menulis tugas yang diberikan oleh dosen, sangat bertentangan dengan nasihat Bapak di kampung yang mengutip perkataan Imam Syafi’i bahwa salah satu syarat masuknya ilmu adalah kedekatan dengan guru. Namun untuk orang tercinta, semua hal harus diusahakan dan diperjuangkan, apalagi ini untuk hal-hal yang betul-betul urgent dan bermanfaat di masa mendatang.
Membaca biografi para ulama’ tempo doeloe saya sangat tercengang, ternyata cara berfikir mereka sudahsangat modern, progressif dan kekinian. Mereka al-a’aalim banyak yang menyempatkan bahkan mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk menulis di tengah-tengah kesibukan berda’wah dan mencari nafkah. Sebut saja nama Imam Syafi’i, beliau aktif menulis diatas pelepah kurma, kulit binatang, dan bahkan di bebatuan. Hingga suatu saat kamarnya penuh sesak dengan benda-benda penuh tulisan dan kakinya tidak bisa lurus untuk berbaring. Untuk mensiasati hal itu beliau menghafal semua tulisan, merangkumnya kedalam kitab dan membuang pelepah kurma, kulit binatang, dan bebatuan penuh tulisan tadi. Dari tangannya lahir kitab Al-Umm (Fiqh) dan Ar-Risalah (Ushul Fiqh); Imam ghozali yang mejelisnya dikenal dengan “mejelis 300 sorban” mengabdikan hidupnya pada dunia keilmuan. Bukunya yang bisa kita nikmati sampai sekarang adalah Ihya’ Ulumuddin yang dijilid hingga 4 Jilid besar; Ibnu Hajar Al-Atsqolani menulis kitab Fathul Baari syarkh Sohih Bukhori sebanyak 17 Jilid selama 29 tahun; Juga Imam Nawawi yang hingga akhir hidupnya (usia 45 tahun) tidak sempat menikah telah menulis ratusan lembar buku dan menghasilkan karya agung yang diberi nama Al-Majmu’ dan Minhajuttholibiin; dan masih banyak lagi yang lainnya.
“Menjadi penulis tidaklah gampang, butuh ketekunan, keseriusan, dan ketelatenan untuk berlatih setiap hari”, setidaknya seperti itu kesimpulan yang saya dapatkan dari buku-buku. Namun pandangan ini dipatahkan oleh penulis kondang Tere Liye padasalah satu video youtube yang saya download dengan mengatakan “menulis itu ibarat ibu-ibu yang memasak di dapur. Mereka tidak perlu lagi menghafalkan takaran bumbu yang harus dimasukkan dalam masakannya. Lidahnya sudah sangat peka untuk membedakan antara masakan yang pas dan tidak pas, yang enak dengan yang tidak enak”.
Tulisan “one day, one article” ini saya jadikan motivasi untuk giat berlatih dengan menulis minimal satu artikel perhari. Meskipun tidak mampu menjadi penulis hebat yang menuliskan buah pikirannya dalam buku cetakan, karena saya sadari itu bukan kapasitas serta kapabilitas saya, namun harapannya selalu mampu menorehkan kalimat-kalimat cinta dan kemesraan di dalam hatimu untuk selama-lamanya, “kamuuuu, iyaa, kamuu”, kira-kira seperti itu kata-kata khas Bang Dodik dalam komedinya.[caption caption="BELAJAR MENULIS"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H