Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Sekadar Membaca

25 Mei 2016   11:57 Diperbarui: 25 Mei 2016   12:01 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti diakui Mendikbud, persentase minat baca masayarakat Indonesia hanya 0,01 persen. Dari peresentasi tersebut dipahami bahwa dari 1000 orang hanya satu yang terbiasa membaca. Ini sangat memprihatinkan.

Sebab itu, bulan Agustus 2015 lalu, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendikbud) meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).  GLS dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut merupakan upaya untuk menumbuhkan budi pekerti pada peserta didik.  Menggunakan istilah menumbuhkan bukan menanamkan karena pada hakekatnya setiap anak memiliki budi pekerti dimaksud. Menurut Mendikbud, Anis Baswedan menumbuhkan maknanya memberi ruang bagi tumbuhkembangnya budi pekerti peserta didik.  Sebab, pada dasarnya anak sudah memilki modal dasar budi pekerti.

Dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, guru diminta melakukan  pembiasaan mengajak peserta didik membaca buku selama 15 menit. Kegiatan 15 menit membaca itu dilakukan untuk membiaskan mereka membaca. Buku yang dibaca tidak harus buku paket atau kurikulum. Peserta didik bebas membaca buku yang disukai. Buku dapat diambil dari perpustakaan atau membawa dari rumah baik dapat meminjam orang tua, teman atau membeli sendiri.

GLS seperti disebutkan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Mahsun bertujuan membiasakan dan memotivasi siswa untuk mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti. Dalam jangka panjang, peserta didik memilki kemampuan literasi yang tinggi. (http://litbang.kemdikbud.go.id/)

Sekarang bagaimana pelaksanaan GLS? Apa cukup sekadar membaca 15 menit sebelum belajar? Tentu tidak. Membaca 15 menit di awal jam pelajaran itu hanya salah satu upaya membiasakan, mendorong anak  untuk mau membaca. Dengan pembiasaan tersebut membaca diharapkan menjadi kebutuhan bagi peserta didik. Juga untuk menanamkan kecintaan mereka pada membaca dan buku.

Dalam sebuah acara di TV swasta, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, untuk mendorong minat baca masyarakat sekadar membaca buku tak cukup. Dibutuhkan gerakan bersama. Di samping membaca, kita harus mengajak orang lain membaca. GLS  merupakan usaha yang bertujuan untuk itu di lingkungan sekolah. Tapi saya meyakini GLS di sekolah saja tak cukup. Perlu gerakan di tempat lain. Gerakan itu harus bermula di keluarga dan diakhiri di lingkungan masyarakat. Ini yang dimaksud gerakan bersama seperti diungkapkan sang Menteri. Sebab itu permasalahan ini menjadi tanggungjawab setiap dari kita, bukan para pendidik di sekolah semata.

Gerakan membaca di keluarga bisa diupayakan dengan hal-hal berikut. Pertama,teladan dari orang tua. Teladan menjadi sesuatu yang penting. Keteladan lebih mudah diterima oleh anak dibanding  perintah. Sebab, manusia memilki kecenderungan melawan perintah. Karena dalam kata perintah terdapat perampasan ego seseorang. Untuk itu gerakan membaca dalam keluarga harus dimulai dari orang tua. Ayah dan ibu kudu membiasakan  diri membaca terlebih dahulu sebelum memerintah.

Kedua,menyisihkan uang belanja untuk membeli buku. Sehingga di rumah memilki buku bacaan. Terlebih bagi yang memilki anggaran lebih, membentuk perpustakaan kecil di sudut rumah menjadi pilihan bijak. Untuk menamkan kecintaan pada buku, orang tua dapat mengajak anak saat membeli buku.

Ketiga,orang tua mengarahkan bacaan anak. Bacaan anak disesuaikan dengan usia mereka. Bacaan untuk anak tak perlu dibatasi. Biarkan mereka memilih bacaan yang disukai secara bebas. Orang tua cukup mendampingi dan membimbing.

Selanjutnya, gerakan membaca di  sekolah seperti yang dicanangkan Kemendibud dengan GLS-nya. Kepala sekola dan guru harus menyikapinya dengan baik. Guru dan semua civitas sekolah wajib melaksanakan. Gerakan membaca di sekolah seyogyanya menjadi contoh bagi keluarga, masyarakat luas. Bagaimanapun di sekolah adalah tempat manusia terdidik. Sangat ironis bila sekolah sebagai lembaga pendidikan budaya membacanya lemah.

Sebab itu, selain kegiatan 15 menit membaca setiap awal pelajaran juga diperlukan langkah lain, seperti mengoptimalkan perpustakaan sekolah. Setiap sekolah idealnya memiliki perpustakaan. Perpustakan sebagai sumber informasi, ilmu juga rujukan kudu dikelola secara baik. Selama ini,  perpustakaan sekolah terbengkalai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun