Beberapa waktu lalu, presiden Jokowi merushuffle, merombak kabinet. Media (cetak, elektronik) menyebutnya sebagai kocok ulang kabinet. Menarik, sebutan itu. Kocok ulang itu terkesan dilakukan tanpa pemikiran pajang, tanpa rencana, bahkan asal-asalan. Entah, apa sebabnya istilah itu dipilih. Bisa jadi, itu merupakan bentuk ketidak percayaan publk menanggapi reshuffle kabinet yang dilakukan pak Jokowi. Walau seperti diketahui bersama, publiklah yang telah mendorong  hal itu (baca:reshuffle). Atau bisa juga karena tidak terlalu berharap banyak dari reshuffle yang telah dilakukan.
Pada Rabu 12 Agustus 2015 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo secara resmi melakukan resuffle kabinet kerja.  Presiden Joko Widodo telah mengganti enam menteri. Keenam menteri yang dicopot yaitu Tedjo Edhy digantikan oleh Luhut Binsar Pandjaitan di posisi Menko Polhukam, Sofyan Djalil digantikan Darmin Nasution di posisi Menko Perekonomian, Andrinof Chaniago digantikan Sofyan Djalil sebagai Kepala Bappenas yang sebelumnya di posisi Menko Perekonomian, Rachmat Gobel digantikan Thomas Lembong di posisi Menteri Perdagangan, Indroyono Soesilo digantikan Rizal Ramli di posisi Menko Maritim. Kemudian diumumkan pemberhentian Andi Widjajanto dari posisi Sekretaris Kabinet dan digantikan posisinya oleh Pramono Anung.
Sekarang rakyat menanti kerja dan aksi cepat mereka. Gebrakan, terobosan yang berpengaruh langsung terutama bidang ekonomi akan ditunggu. Kerja cerdas mereka dinanti. Kekompakan anggota kabinet setelah kocok ulang (baca:masuknya enam menteri baru) diharapkan dapat mendorong keadaan perekonomian negara yang sedang suran ke arah yang lebih baik lagi. Karena dorongan rushuffle sejatinya untuk tujuan itu. Masuknya tokoh-tokoh berpengalaman seperti Rizal Ramli sebagai Menko Maritim, Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian diharapkan mampu menghadapi krisis ekonomi yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Kordinasi, kordinasi dan kordinasi
Melihat rushuffle kemaren, saya menangkap betapa penting serta dibutuhkannya kordinasi yang baik dan kuat dalam kabinet kerja. Itu bisa ditandakan dengan dirushefflunya semua Menko (kecuali Mbak Puan Maharani). Jokowi menyadari kordinasi dalam kabinet kerja yang dibentuknya sangat lemah bahkan bisa disebut kedodoran. Hal ini juga ditegaskan Rizal Ramli, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Darmin Nasution saat ditanya oleh para wartawan, apa tugas pertama yang disampaikan Presiden? Mereka bertiga di tempat terpisah menjawab dengan jawaban yang sama. Presiden meminta meningkatkan kordinasi para menteri dalam bekerja, menyelesaikan permasalahan yang ada. Pengalaman (baca:kordinasi) sebelumnya yang dianggap tidak baik dianggap sebagai salah satu sebab menonjol lambanya kinerja kabinet.
Namun demikian rakyat menyaksikan sebaliknya. Pesan semangat kordinasi yang disampaikan Presiden justru berbalik di lapangan. Adalah Rizal Ramli meminta agar Garuda membatalkan rencana pembelian Airbus A350. Menurutnya, daripada membeli pesawat A350 lebih baik membeli A320 untuk penerbangan domestik dan regional, Garuda lebih baik fokus ke pasar domestik dan regional. Terang saja, hal ini membuat berang Menteri BUMN Rini Soemarno. Pak Rizal dituduh banyak pihak salah kaprah karena mengusik pekerjaan kementerian lain yang tidak dibawah kordinasinya. Bahkan menurut Hendi Setiawan (2015) Pak Rizal Ramli telah melakukan off-side. Disebut off-side karena sangat jelas perusahaan penerbangan Garuda tidak termasuk bidang yang menjadi wilayah kerja Menko Kemaritiman. (Kompasiana.com) Rizal Ramli nampaknya lupa bahwa dia tidak lagi sebagai seorang pengamat yang kritis, tapi salah satu anggota kabinet. Beliau lupa, apa yang diminta oleh presiden yakni meningkatkan kordinasi sebagai tugas pertama dan utama untuknya juga yang lain setelah dilantik menjadi menteri.
Hal di atas seharusnya tidak terjadi bila para menteri kompak, mendahulukan dialog internal dibanding mengeluarkan statemen ke publik. Kaitan dengan statemen Rizal Ramli, menurut Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Suharso Monoarfa, Presiden Jokowi sudah menegurnya. (http://nasional.kompas.com/). Teguran itu mustinya dapat menjadi pelajaran bagi semua.
Harapan, menanti terobosan
Terlepas pro-kontra seputar siapa yang diganti dan yang menggantikan, reshuffle memberikan harapan baru bagi rakyat. Mereka menanti kerja nyata kabinet kerja Jokowi yang telah direvisi, diperbaiki berdampak langsung bagi peningkatan kesejahteraan. Mereka berharap kondisi ekonomi lebih baik, bangkit dari keterpurukan. Lebih khusus rupiah segera menguat. Harga kebutuhan pokok terjangkau termasuk daging sapi. Untuk itu menurut hemat saya, ke depan para pembantu presiden harus, pertama, lebih fokus pada tanggung jawab yang telah diberikan. Tidak perlu tengak-tengok urusan lain. Konsentrasi di kementerian masing-masing. Bekerjalah dengan semangat mengabdi pada rakyat. Tidak perlu sensasi, apalagi untuk pencitraan. Pahami dan laksanakan perintah dan arahan presiden. Jangan jalan sendiri, ikuti visi misi Jokowi dengan Nawa Cita yang telah digagasnya.
Kedua, carilah terobosan-terobosan cerdas dalam setiap penyelesaian masalah. Walau terobosan semacam itu terkadang seperti pil pahit yang akan ditolak oleh setiap orang. Karenannya memerlukan keberanian. Dan bagi sang menteri terkait harus siap segala, termasuk siap menerima hujatan. Saya mengapresiasi keteguhan Menpora Imam Nahrawi dalam perbaikan persepakbolaan nasional. Walau dikecam, tetap jalan dengan keyakinan dan tanggung jawab. Demikian, menteri Susi Pujiastuti dalam penenggelaman kapal pencuri ikan, juga menteri Anis Baswedan dalam mereduksi fungsi UN dan pemberhentian pemberlakuan Kurikulum 2013. Terobosan-terobosan cerdas, bertanggung jawab seperti itu yang cepat atau lambat akan dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Ketiga, seperti yang ditekankan oleh presiden saat rushaffle, kordinasi antara kementerian di bawah menko masing-masing harus ditingkatkan. Karenanya para menteri harus kompak, bersama dalam setiap gerak dan langka. Kerja kabinet adalah kerja team. Satu dengan yang lain harus saling mendukung dan menopang.