Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nilai Plus, Belajar di Pesantren

28 Desember 2015   06:35 Diperbarui: 28 Desember 2015   08:08 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kurang lebih sepuluh harian, tapi terasa sangat cepat. Bersanding dengan anak yang berlibur dari pesantren merupakan moment yang dinanti oleh saya juga keluarga lain. Ya, karena anak pulang hanya saat liburan sekolah,  setiap semester.  Dan hari ini, saat anak saya kembali ke tempat belajarnya. Saya, istri juga adik-adiknya harus kembali ikhlash melepaskanya pergi untuk menuntut ilmu.

Perasaan berat pasti ada. Namanya juga anak, darah daging kita.  Rasa sedih, sayang, iba, bahagia bercampur jadi satu. Sedih jelas karena kita berpisah lagi. Iba, sayang melihatnya hidup di perantauan. Dulu saat saya nyantri menyebut pesantren sebagai penjara suci. Disebut penjara karena, santri tak bisa ke mana-mana. Area pesantren dikelilingi pagar tinggi. Ada pula bahagia menyaksikan semangat anak dalam menuntut ilmu.

Perasaan seperti itu saya yakin dirasakan oleh semua orang tua. Dan pasti ayah dan ibu juga demikian saat melepas saya ke pesantren tiga puluh tahun yang lalu. Masih membayang dalam ingatan, ibu seringkali menetaskan air mata ketika mengantarkan saya di stasiun kereta api. Dan  apa yang dirasakan ibu sekarang saya rasakan.

Belajar ke pesantren sebenaranya tidak semuanya berjalan lancar. Ada anak yang tak betah tinggal di pesantren, terpaksa putus di jalan. Bagi orang tua hal seperti itu tentu sangat berat. Ibarat mimpi hilang saat terbangun. Harapan memiliki anak yang berilmu, beriman, bertakwa serta berguna bagi sesaat sirna.

Alhamdulillah mimpi buruk itu tak menimpa anak saya. Sejak pertama, tiga tahun lalu, anak saya tak pernah mengeluh tinggal di pesantren. Ia nampaknya betah di pesantren. Wajar sih, disamping ada faktor genetik “turunan santri”, sebelum masuk saya sudah beberapa kali mengajaknya ke pesantren. Jadi, baginya pesantren sudah dikenalnya sejak masih kecil.

Saat ini sebenarnya belajar di lingkungan terdekat juga bisa. Banyak sekolah maju dan bagus. Kenapa harus ke pesantren yang  jauh dari kita? Bagi saya banyak nilai plus belajar di pesantren. Berikut di antaranya, pertama, menanamkan kehidupan agamis sejak dini. Di pesantren nilai-nilai agama ditanamkan selama 24 jam. Dari bangun pagi sampai menjelang tidur, kegiatan santri bernuansa agamis. Mulai dari salat berjamaah lima waktu, belajar atau sekolah, kajian Quran, kajian kitab, pembacaan awrad atau dzikir, dan masih banyak lagi. Mereka juga dilatih berpuasa sunnah seperti puasa hari Senin dan Kamis. Dari kegiatan itu, diyakini nilai keagamaan akan tumbuh dalam diri santri.

Kedua, hidup mandiri. Di pesantren santri disiapkan, dilatih hidup mandiri. Tidak bergantung ke orang tua atau lainnya. Mereka harus mengurus kehidupannya sendiri.  Cuci pakaian, makan, belajar,  membelanjakan dan mengelola keuangan, semuannya dilakukan sendiri. Diharapkan santri kelak dapat hidup mandiri, sabar mengahadapi kesulitan hidup dan bisa menyelesaikan setiap persoalan. Dengan sendirinya santri diajarkan bagaimana bermasyarakat, bergaul dengan orang lain. Terlebih, di pesantren biasanya santri berasal dari berbagai daerah di tanah air. Kemajemukan santri mengajarkan banyak hal seperti saling belajar, memahami budaya lain, juga saling menghagai dan mengormati. Mereka hidup bersama dalam perbedaan yang ada. Itu pembelajaran yang sangat mahal.

Ketiga, steril dari pergaulan bebas, negatif. Sekarang yang dikhawatirkan oleh setiap orang tua adalah pengaruh negatif  pergaulan anak-anaknya. Pergaulan bebas khawatir menarik anak ke hal-hal negatif seperti narkoba, seks bebas dan lainnya. Mengirim anak belajar ke pesantren, paling tidak menghilangkan kekhawatiran tersebut. Karena di pesantren, santri dalam segala hal diatur. Hidup mereka terjadwal. Ada hal yang tak diperbolehkan di pesantren seperti membawa HP, menonton Film di luar, membawa alat musik, dan masih banyak lagi. Itu bertujuan untuk melindungi mereka dari pengaruh pergaulan liar, juga arus informasi dan kemajuan tekhnologi yang negatif.  Tapi bukan berarti santri dijauhkan dari informasi atau tekhnologi. Ini sifatnya hanya pengaturan dan pembelajaran bagaimana menggunakan tekhnologi, memanfaatkan informasi secara tepat dan benar. Di pesantren pada waktu tertentu diputarkan film, TV, ada juga warnet yang sudah dikelola dan didesain untuk santri.  Tata pergaulan di pesantren pula dipantau, dijaga, diawasi oleh pihak pesantren, dalam hal ini biasanya pengurus asrama yang mengerjakannya.

Keempat, belajar lebih fokus. Berbeda dengan di rumah, anak di pesantren akan lebih fokus dalam belajar. Santri menyadari bahwa keberadaan mereka di pesantren untuk belajar. Di samping itu, lingkungan di sana jelas mendorong lebih semangat lagi belajar. Fasilitas belajar terpenuhi, ada perpustakaan, laboratorium, fasilitas olah raga, fasilitas kegiatan ketrampilan seperti mesin jahit atau lainnya, jug fasilitas kegiatan ektra kurikuler. Di pesantren ada waktu khusus untuk belajar. Secara umum belajar di sekolah secara klasilkal, ada belajar kelompok dan belajar individual. Semua terjadwal scara rapi, rutin.

Nah, itulah diantaranya, mungkin masih banyak lagi. Hal-hal di atas yang pasti tak dijumpai di rumah kita. Pesantren memang tepat untuk belajar anak-anak kita. Dan sangat menggembirakan bagi kita semua, para orang tua bahwa pesantren pun mengelola pendidikannya dengan sistem modern sesuai kebutuhan dan perkembangan jaman. Di sana tidak hanya diajarkan agama, tapi menghadirkan sekolah umum dari SLTP, SLTA bahkan perguruan tinggi. Kemudian pesantren  telah hadir, banyak di lingkungan terdekat, tidak harus jauh.  Pesantren sekarang menjmur dengan ciri khas dan keunggulan masing-masing. Dulu boleh orang bilang nyantri itu udik, kampungan. Sekarang, tentu beda. Wa Allahu Alam

Gambar: Diambil dari situs resmi pesntren Al Ma'hadul Islami Jawa Timur, di tempat itu anak saya belajar.(http://www.yapibangil.org/)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun