Kemaren (5/1), saya membaca harian Radar Cirebon melaporkan kembali kasus kriminalisasi guru di Majalengka yang sempat menjadi topik hangat dalam pemberitaan nasional baik online maupun cetak. Guru itu bernama Aoup Saopudin. Guru honorer itu mengajar di SDN Penjalin V Majalengka. Aop Saopudin melakukan razia rambut gondrong di kelas III pada 19 Maret 2012. Dalam razia itu, didapati 4 siswa yang berambut gondrong yaitu AN, M, MR dan THS. Mendapati rambut gondrong ini, Aop lalu melakukan tindakan disiplin dengan memotong rambut THS ala kadarnya sehingga gundul tidak beraturan.
Sepulang sekolah, THS menceritakan hukuman disiplin itu ke ayahnya, Iwan. Kemudian Iwan bersama teman-temannya  mendatangi rumah Kepala Sekolah, Ayip Rosidi. Sesampainya di rumah tersebut, Iwan tidak mendapati Ayip dan pulang. Di jalan, Iwan bertemu dengan Ayip dan Iwan lalu menanyakan razia rambut gondrong yang berakhir dengan pemotongan rambut anaknya. Jawaban Ayip tidak memuaskan pria kelahiran 23 November 1975 itu sehingga Iwan mencari Aop. Setelah Iwan menemukan Aop, ia langsung mengangkat kerah baju Aop dan mendorong tubuh Aop ke belakang, mencukur rambut dan memukulinya.
Tidak terima perlakuan tersebut Aop melaporkannya ke kepolisian. Tak mau kalah, Iwan pun melapor balik. Kasus guru dan wali siswa pun berakhir di ranah hukum. Kasus hukum yang bergulir dua tahun lalu itu berakhir di Mahkama Agung (MA). Dalam keputusannya MA, menyatakan bahwa Aop Saopudin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaiman yang didakwakan. MA juga memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, keudukan, dan harkat martabatnya. Mahkamah Agung berpendapat apa yang dilakukan Aop Saopudin adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan tindakan pidana dan terdakwa tak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan disiplin.      Â
Tanggung Jawab dan Komunikasi
Membaca kasus di atas, menjadi menarik untuk menimbang dan menakar kembali komunikasi ideal guru dan wali siswa. Yaitu komunikasi yang didasari oleh tanggug jawab bersama dalam mendidik anak atau peserta didik. Tanggung jawab dalam artian bahwa mendidik bukan hanya tugas guru atau orang tua, tapi membutuhkan peran aktif keduanya. Mereka harus saling mendukung, menopang, membantu, serta saling mengisi dan melengkapi. Baik guru maupun orang tua harus memahami tanggung jawab bersama itu. Mereka tidak boleh saling menyalahkan apalagi saling melempar tanggung jawab.
Untuk menjaga kebersamaan dalam tanggung jawab bersama mendidik itu diperlukan jalinan komunikasi yang baik antara keduanya. Yaitu komunikasi yang sejajar. Keduanya harus bisa kompak dalam segala hal terkait pendidikan anak atau peserta didik. Menteri Pendidikan dan kebudayaan Anis Baswedan, dalam pidato hari pendidikan tahun 2015 lalu mengingatkan bahwa wajah masa depan kita berada di ruang-ruang kelas, memang. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa tanggung jawab membentuk masa depan itu hanya berada di pundak pendidik dan tenaga kependidikan di institusi pendidikan. Secara konstitusional, mendidik adalah tanggung jawab negara. Namun, secara moral, mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Orang tua pastinya berada pada garda terdepan.
Selama ini komunikasi dan kerjasama antara guru dan orang tua berjalan tidak efektif. Komunikasi keduanya hanya terjadi pada forum rapat yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Untuk sebagian orang tua, undangan rapat juga dikaiatkan dengan penarikan iuran. Ini anggapan yang keliru. Komunikasi guru dan orang tua tak sebatas soal pembiayaan sekolah tetapi berkaitan dengan semua hal menyangkut pendidikan anak atau peserta didik. Anggapan keliru di atas bisa jadi berdasar pada pengalaman. Karena sekolah  menjalin komunikasi dengan orang hanya  terkait soal iuran saja. Selebihnya tidak.
Di tambah lagi era kebebasan, penegakan HAM yang dipahami secara salah oleh sebagian masyarakat. Pemahaman yang salah ini mendorong orang tua mudah membawa persoalan anak di sekolah ke ranah hukum. Lebih parah lagi, bila mereka menghakiminya sendiri. Maka tak sedikit kasus guru dan siswa berakhir di kepolisian. Hal ini terutama bila terkait dengan kekerasan baik fisik atau psikis.
Di awal tahun pelajaran 2015-2016 yang lalu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anis Baswedan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut seperti penegasan kembali pentingnya penanaman nilai-nilai luhur, budi pekerti, karakter.
Permendikbud tersebut diantaranya mengatur tentang keharusan orang tua mengantar anaknya di awal masuk sekolah. Ini berlaku buat semua peserta didik, tidak hanya siswa baru. Kalau bagi peserta didik baru kita sudah sering melihatnya, terutama di sekolah dasar atau sebagaian siswa baru pada tingkat menengah pertama. Untuk SLTA, kita jarang menemukannnya.
Dalam peraturan Menteri tersebut semua peserta didik (baru atau lama) di semua tingkatan (SD, SLTP, SLTA) saat hari pertama sekolah harus diantar oleh orang tua mereka. Tidak cukup hanya itu. Mereka (orang tua) juga diminta menitipkan anak-anaknya pada guru di sekolah. Seperti serah terima tanggung jawab, masing-masing dari mereka (orang tua-guru) harus memahami kewajiban dan hak masing-masing baik saat anak-anak di sekolah atau di rumah. Kedua belah pihak diharapkan dapat bekerja sama dalam membimbing, mengajar, dan mendidik mereka.