Â
[caption caption="Ketua DPR RI Irman Gusman akan segera bertemu PKB untuk membicarakan waca na pembubaran DPD RI. (www.cnnindonesia.com)"][/caption]
      Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kembali dipertanyakan. DPD sebagai lembaga yang lahir dari rahim reformasi itu dianggap tak memberikan kontribusi yang berarti bagi bangsa dan negara. Kewenangan DPD dinilai  sangat sedikit. Hal ini yang menguatkan pandangan sebagian masyarakat bahwa keberadaan DPD tidak jelas. DPD  dilihat antara ada dan tiada. Ada karena memang 132 anggota BPD secara faktual  ada sesuai amanat  UUD 1945 Pasal 22 C. Tiada karena sangat minimnya  peran, aktivitas, dan kinerja mereka. Sebab itu, wacana pembubaran DPD kerap muncul dalam ruang publik.
     Paling mutakhir wacana pembubaran DPD disampaikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Bagi PKB pembubaran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan hal logis apabila kewenangann lembaga legislatif itu tidak diubah.  Sekretaris Jenderal DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Kadir Karding mengatakan, DPD tidak memiliki kewenangan, kecuali hanya mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) dan ikut membahasnya.  Namun pada praktiknya,  keterlibatan DPD pada pembahasan UU juga sangat terbatas.  DPD tidak memiliki kewenangan dalam memutus dan menyetujui anggaran dan UU. Padahal anggaran yang dibutuhkan DPD untuk setiap tahunnya  sangat besar. (http://nasional.sindonews.com/)
     Dalam UUD 1945 Pasal 22 D, kewenangan DPD adalah mengajukan RUU kepada DPR terkait otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD dapat membahasnya bersama DPR usulan RUU tersebut, tapi DPD tak dilibatkan (baca:tak memiliki kewenangan) dalam pengesahan UU  yang diusulkan.
     Kemudian DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama. DPD juga dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, dan pemakaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama kemudian menyampaikannya kepada DPR sebagai pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
     Terkait wacana di atas, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Farouk Muhammad merespons positif usulan pembubaran DPD yang digagas oleh PKB dalam Musyawarah Kerja Nasional beberapa waktu lalu. Farouk menilai wacana tersebut merupakan sinyal dukungan PKB agar para senator dapat memperkuat lembaga perwakilan rakyat daerah itu di parlemen. Dia memahaminya bukan pembubaran tapi usulan alternatif, DPD mau dibubarkan atau diperkuat. Paling tidak PKB telah membuka wacana untuk melakukan amandemen terhadap Undang-undang Dasar (UUD).
     Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf, menyarankan pembubaran DPD jika tidak ada komitmen untuk memperkuat fungsi lembaga tersebut. DPD diharapkan menjadi lembaga penyambung aspirasi daerah di parlemen. Untuk itu  pembahasan mengenai evaluasi DPD perlu segera dilakukan. Jika tidak, posisi lembaga ini akan tetap tanggung. (http://nasional.republika.co.id/)
Aksesoris Demokrasi
     Wacana pembubaran DPD harus ditanggapi secara positif. Paling tidak bisa dijadikan sebagai kritik atau evaluasi terhadap tatanan demokrasi di negeri ini. Sebab selama ini DPD dipandang hanya sebagai aksesoris demokrasi.  Selama ini DPD sulit berjalan karena kedudukan dan wewenangnya masih sangat lemah. DPD RI selalu dikalahkan oleh DPR RI. Mustinya, berdasarkan asas bikameral maka peran DPD RI  dan DPR RI itu setara dan sama sama kuat baik dalam pengajuan, pembahasan dan pengesahan RUU (legislasi) serta terkait anggaran (budgeting). Sistem bikameral telah diterapkan di Amerika Serikat melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Indonesia sebenarnya menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar (bikameral) melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), hanya dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.
      Layaknya aksesoris, DPD RI sekarang ada sekadar pelengkap. Tidak lebih. DPD terkukung oleh keterbatasan kewenangan yang dimilikinya. DPD tak bisa banyak berbuat. Dan keadan seperti ini yang disayangkan oleh sejumlah pihak, termasuk PKB. Ini menjadi pekerjaan rumah ketua DPD, Irman Gusman agar bisa menghadirkan  DPD di masa yang akan datang lebih kuat lagi. Karenanya, Irman mengusulkan, mengharapkan adanya perbaikan status DPD dalam amandemen UUD 1945.