Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Kemarahan Jokowi

9 Desember 2015   19:47 Diperbarui: 9 Desember 2015   20:08 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari lalu rakyat telah menyaksikan akrobatik politik tingkat tinggi di gedung DPR RI. Sidang etik MKD yang menjadi sorotan tajam publik maenjadi bukti betapa kuatnya Setya Novanto (SN). Terlihat dengan kasat mata, betapa SN tidak saja menguasai anggota dewan (baik KMP atau KIH), bahkan sekretariat Dewan pun berada di tangannya.

Pengawalan ekstra ketat dilakukan oleh pengawalan dalam DPR saat SN masuk dan keluar ruangan. Sidang etik dengan teradu, SN yang diharapkan publik dilakukan terbuka diputuskan tertutup. Wakil ketua MKD, Junimart Girsang mengatakan, sidang digelar tertutup kaarena permintaan teradu. Rakyat kembali dikecewakan. Kekecewaan dan kemarahan rakyat bisa diamati dari ungkapan para tokoh nasional seperti Syafii Marif, mantan ketua Muhammadiyah, Gus Solah, pengasuh Pesantren Buntet Jombang, juga Romo Benny Susetyo,

          Apa yang dirasakan rakyat ternyata dialami juga oleh Presiden Jokowi. Kekecewaan dan kemarahan Jokowi terlihat jelas saat diwawancarai oleh awak media di istana. Presiden mengatakan, proses yang berjalan di MKD harus kita hormati, tetapi tidak boleh yang namanya lembaga negara itu dipermainkan. Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa lembaga negara lain. Saya ngga apa dikatakan presiden gila, presiden saraf, presiden koppig, nga apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut, meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Ngak bisa. Ini masalah kepatutan, masalah kepantasan, masalah etika, masalah morlitas. Dan itu masalah wibawa negara. (http://news.detik.com/)

          Ungkapan dan kata-kata Presiden menunjukkan kemarahan besar dan kekecewaannya terhadap proses yang berjalan di MKD terakhir. Sebuah proses persidangan etik yang mengabaikan logika sehat dan hati nurani.  Yakni persidangan yang hanya sandiwara, dagelan politik, yang memperjelas pengkianatan dan kemunafikan sebagian besar anggota MKD.

          Baru kali ini, kita semua menyaksikan Pak Jokowi marah. Presiden selama ini dikenal sangat sabar. Sejak menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI hingga Presiden RI, segala hianaan, cacian, fitnah ditanggapinya dengan jiwa besar. Beliau hanya mengatakan ora popo. Ungkapan itu sangat dikenal oleh masyarakat, menggambarkan kesabaran beliau selama ini.

          Banyak kalangan menilai kemarahan Presiden sebagai hal yang wajar. Karena sebelumnya Presiden sudah menegaskan agar proses sidang etik tidak diintervensi. MKD diminta independen, berlaku adil. Melihat persidangan terakhir, saat MKD mengadili SN sungguh jauh dari keadilan. Ukuran yang paling sederhana dapat bisa dilihat dari bagaimana MKD memperlakukan berbeda antara Sudirman Said, Ma’ruf Syamsuddin dan SN. MKD sangat mengistimewakan teradu, SN. Semua keinginan SN dikabulkan.

MKD telah mengundurukan jadwal pemeriksaan dari puku 09.00 sampai pukul 13.30, menyatakan sidang tertutup, tidak ada tanya jawab terkait rekaman. Semuanya permintaan SN. MKD tidak bernyali sama sekali. SN diperiksa tidak kurang dari 3 jam. Sedangkan Sudirman Said diperiksa selama 7 jam lebih, Syamsuddin Ma’ruf 12 jam lebih. Sebuah diskriminasi yang mencolok mata.

          Kemarahan Presiden Jokowi juga sangat manusiawi. Kesabaran tentu ada batasnya. Tidak mungkin seorang akan berdiam diri saat harkat dan martabatnya diinjak-injak, terlebih Jokowi sebagai Presiden. Kemarahan Jokowi bukan hanya representasi dirinya, tapi lebih dari itu. Mungkinkah seorang warga negara (apalagi presiden) berdiam diri ketika presiden sebagai simbul negara diinjak-injak harkat dan martabatnya? Kaitan dengan ini, Jaksa Agung, mengatakan mencatut nama Presiden sama saja dengan merusak wibawa negara.

Wajar dan manusiawi Presiden marah. Tapi, penyelidikan  yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung atas kasus papa minta saham itu bukan karena kemarahan Presiden. Kejagung sudah melakukannya sebelum beliau marah. Kejagung melihat, menyaksikan dari pemberitaan media, ada dugaan pemufakatan jahat yang telah dilakukan oleh SN dan Reza Chalid. Jadi, kasus ini bukan delik aduan, juga bukan delik perintah.(http://www.jaringnews.com/)

Bagaimana memahaminya?

          Menurut hemat saya, kemarahan Jokowi harus dipahami sebagai berikut: pertama, kemarahan Jokowi menjadi peringatan keras buat semua, terutama bagi para politisi. Jangan mempermainkan lembaga negara, apalagi menginjak harkat dan martabatnya. Seperti yang ditegaskan Jimly Asshiddiqy, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).  permasalahan ini menjadi pertaruhan bangsa. Jimly meminta agar Jokowi dan publik bersabar menanti keputusan MKD.  Keseriusan MKD akan terlihat dari keputusannya. (http://news.liputan6.com/)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun