Pada tanggal 8 Juli 2015 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya melegalkan dinasti poltik. Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat, MK secara resmi membatalkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada Pasal 7 Huruf r, yang menyebutkan bahwa syarat calon kepala daerah (gubernur, Bupati atau Walikota) tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan. Adapun permohonan uji materi diajukan oleh seorang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan dengan petahana memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang.
Padahal, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.
Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 3 yang mengaskan, setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. Kemudian MK memandang Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 juga sulit dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada.
Ini karena pemaknaan terhadap frasa ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai kepentingannya hingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum.
Latar Belakang
Latar belakang pelarangan calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan kekerabatan (baca:hubungan keluarga) dengan petahana di antaranya pertama, ada (bisa disebut banyak, dan menjadi kecenderungan) sejumlah kepala daerah yang terpiih menggantikan suami, orang tua, atau keluarga initi lainnya setelah mereka menjabat dua periode dan tidak diperbolehkan mencalonkan kembali.
Bakhan ada satu propinsi yang beberapa Walikota/Bupati saling memiliki hubungan kekerabatan dengan gubernurnya. Sebut saja propinsi Banten misalnya, Wakil Bupati Serang Tatu Chasanah adalah adik kandung Gubernur Banten (nonaktif) Atut Chosiyah.
Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman adalah adik tiri Atut. Adapun Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany adalah adik ipar Atut dan Wakil Bupati Pandeglang Heryani adalah ibu tiri Atut.
Kedua, faktor kecemburuan politik dan sosial. Sebuah daerah tentu banyak yang berpotensi dan ingin memimpin. Menjadi tidak fair, tidak imbang ketika seorang calon pemimpin harus berhadapan dengan keluarga petahana.