Â
Menulis (tepatnya belajar menulis) sudah saya lakukan sejak masih di pesantren awal tahun 90 an kemudian dilanjutkan di bangku kuliah. Penyakit yang mengidap setiap penulis adalah  putus asa saat tulisan tak bisa nongkrong di media (dulu sih cuma koran atau majalah). Saya termasuk yang mengalami hal tersebut. Zaman mesin tik, tulisan sudah berkali-kali direvisi. Untuk satu tulisan puluhan lembar kertas terbuang. Dibantu tip-ek, maklum tulisan saat itu belum bisa di-delete di detskop komputer seperti sekarang. Dikirim ke redaksi lewat pos, eh tak kunjung dimuat. Seringkali tema tulisan basi di jalan. Begitu sampai di meja redaksi sudah tidak aktual lagi. Tak dimuat deh, dan berakhir di tempat sampah.Sedih bukan?
Di era internet keadaan di atas sedikit terbantu. Ada media sosial facebook, twiter atau lainnya yang bisa menampung tulisan kita tanpa sortir dari siapapun. Kita bisa menulis apapun, gagasan, pengalaman, ide, atau sekedar unek-unek. Cukup satu klik tulisan bisa langsung tayang dan dapat dibaca oleh orang banyak di seluruh dunia. Enak bukan? Media (facebook, twiter,dll) ini bisa dijadikan tempat latihan sekaligus pelampiasan menggantikan koran, majalah.
Terasa puas dan bahagia bila tulisan kita dibaca oleh orang lain, terpapang di depan mata setiap yang melihatnya. Jerih paya (karena tidak mudah juga menulis itu) selama menulis terasa terbayar. Lebih-lebih bila tulisan kita dihargai dengan honorium. Wah, lengkap sudah kebahagiaan itu. Tapi tak berarti putus asa tak lagi mampir pada diri kita. Tetap saja penyakit itu menghalangi kita menulis. Roesli Lahani Yunus seorang wartawan senior mengatakan mengirim tulisan itu anggap saja seperti membuang sampah. Tapi tentu bukan sampah biasa. Artinya, jangan melihat hasilnya. Dipilih atau tidak oleh redaktur, bisa dimuat atau tidak yang penting menulis dan menulis. Titik. Diawali putus asa karena tulisan kita tidak dimuat berakhir dengan kemalasan dalam menulis yang berkepanjangan.
Selesai kuliah (1998) saya mulai jarang menulis, hampir sudah tak menulis lagi kecuali terpaksa karena tuntutan pekerjaan seperti menulis laporan, membuat proposal, menulis naskah khutbah Jumat. Selainnya tidak. Tahun 2O10 saya mulai bersentuhan dengan dunia maya, aktif di facebook. Minat menulis muncul lagi. Saya menulis status di facebook layaknya menulis untuk surat kabar atau majalah yang dulu saat kuliah sering saya lakukan. Saya masih ingat betul hampir setiap minggu saya ke kantor pos mengirim artikel ke redaksi Wawasan, Suara Merdeka, Republika, Harian Pelita. Walau tak satu tulisan pun yang diterima oleh redaktur. Sekarang teman-teman fesbooker menyebut saya sebagai seorang penulis, tapi penulis status. Maklum saya menulis status layaknya menulis artikel, panjang juga terlihat resmi. Lumayan juga sih,,pikir saya . Entah kapan   akan berubah menjadi penulis betulan.  Sebenarnya sewaktu aktif mengirim tulisan tidak semua tulisan berakhir di sampah redaktur, ada satu dua  tulisan yang sempat dimuat di koran daerah saat itu. Tapi perbandingannya sangat jauh. Puluhan tulisan (selama bertahun-tahun) dikirim paling satu tulisan yang bisa dimuat oleh surat kabar. Di sini kesabaran para penulis pemula seperti saya diuji. Berbeda dengan yang sudah memiliki nama besar, bagi mereka sebaliknya radaksi menanti tulisan-tulisannya. Di samping untuk di Facebook, tulisan yang saya anggap bagus saya kirim ke beberapa harian lokal. Sayangnya tak satu tulisan pun yang dimuat.
Karena Kompasiana
Pada 16 April 2015 saya bergabung di Kompasiana. Saya merasa menemukan tempat baru untuk mengasah kemampuan dan ketajaman menulis saya. Kompasiana bukan saja media yang bisa menampung tulisan tetapi juga menjadi perpustakaan online karena tersaji ratusan tulisan setiap harinya dengan berbagai macam tema. Pilih saja apa yang disukai. Plus kita bisa berkomentar terhadap tulisan-tulisan itu. Diskusi secara online pun menambah kemerian di Kompasiana.
Kompasiana sebenarnya tidak sengaja saya temukan. Tidak ada teman yang memberitahukan, apalagi mengajak. Betul-betul sebuah kebetulan. Di sela-sela bekerja (baca:mengajar) di sekolah, saya membuka jaringan internet. Seperti biasa saya buka media online ternama seperti Republika, Tempo, Jawa Pos, Kompas dan lainnya. Tak sengaja, di sudut Kompas saya menemukan Kompasiana. Saya coba membukanya. Menarik juga. Menarik bagi saya yang ingin menjadi penulis, tapi belum menemukan jalan. Dalam hati, kompasiana bisa saya jadikan tempat pelampiasan saat tulisan tak termuat (baca:ditolak) redaksi.
Minat menulis saya mendadak naik. Semangat menggebu. Tulisan-tulisan yang pernah saya uploud di Facebook saya uploud ke Kompasiana, tentu setelah saya revisi, untuk menyesuaikan. Saya merasa menemukan tempat yang selama ini saya cari. Kompasiana setiap hari saya buka. Membaca, mengamati tema-tema yang lagi on dan hits di media keroyokan itu. Dan sekali menemukan sela, mendapatkan ide, saya langsung menulis. Tulisan saya kirim ke beberapa redaksi harian umum di daerah saya, di samping tentu saya uploud ke Kompasiana.Â
Di luar dugaan, cukup mengejutkan juga, pada tanggal 2 Mei 2015 tulisan saya dimuat di salah satu harian daerah. Ini yang pertama kalinya, setelah puluhan tulisan saya kirimkan. Dan di luar dugaan secara beruntun (4-5 Mei 2015), tulisan-tulisan saya dimuat kembali di harian yang sama. Ini tentu menjadi spirit. Tapi tentu tidak boleh merasa puas. Masih menurut Rosli Lahani Yunus, penulis itu harus istiqomah, terus menerus, tidak putus-putus, tidak pernah merasa puas baru bisa berhasil. Penulis itu jangan cepat puas, dan jangat pernah putus asa. Upayakan menulis itu menjadi kebutuhan selayaknya kebutuhan makan dan minum.
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/10/01/foto0033-560c68143f23bddb0ce7ab6b.jpg?v=600&t=o?t=o&v=770)