Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hukuman sebagai Alat Pendidikan

13 September 2016   12:07 Diperbarui: 13 September 2016   14:55 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap Senin pagi ada saja (bahkan banyak) anak yang berbaris di barisan depan terpisah dengan barisan peserta upaca bendera lainnya. Barisan ini khusus bagi anak-anak yang melanggar aturan pakaian dan atrirbut sekolah seperti tidak mengenakan topi, dasi, atau lainnya. Barisan disiapkan sebagai hukuman bagi siswa yang melanggar.

Diharapkan setelah mereka dipisah dari teman sekelasnya, berbaris di depan mengelompok seperti petugas upacara timbul rasa malu, takut sehingga tidak melanggar lagi di minggu berikutnya. Nyatanya mereka yang berdiri di depan menghadap siswa-siswi lainya itu justru tidak tampak rasa malu apalagi takut. Yang ada mereka menikmatinya seperti siswa lain. Artinya walau mereka berdiri berbeda tetap tidak membebani mereka. Rupanya berbaris di depan bukan lagi dipandang sebagai hukuman, tapi disikapi seperti  hal biasa.

Dalam paradigma pendidikan tempo dulu, hukuman  merupakan salah satu alat pendidikan seperti penghargaan, pujian, pemberian hadiah atau lainnya. Saya masih ingat,  dulu saat saya belajar di bangku sekolah dasar atau saat mengaji di mushallah, guru atau ustadz selalu membawa kayu panjang.

Kayu itu digunakan disamping untuk menunjuk siswa, tulisan saat membaca juga digunakan untuk memukul bagi mereka yang keluar dari koridor (melanggar) proses belajar mengajar. Guru tidak segan memukul  siswa saat yang bersangkutan salah dalam membaca, mengerjakan perintah. Kemudian siswa pun tidak melawan, menyadari bahwa itu bagian dari  proses pembelajaran dan pendidikan.

Berbeda dengan  keadaan sekarang, hukuman menjadi sulit digunakan sebagai media atau alat pembelajaran dan pendidikan. Kenapa? Pertama, penghormatan siswa kepada guru sudah berubah. Dulu guru itu ibarat satu-satunya sumber belajar sehingga posisi mereka sangat terhormat, juga dibutuhkan.

Sedangkan sekarang siswa beranggapan tidak hanya guru yang bisa mengajari mereka, televisi, koran, majalah, media elektronik lainnya pun bisa. Akhirnya posisi guru sejajar dengan media  seperti TV. Kondisi di atas membuat penghormatan kepada guru berkurang. Tidak sedikit murid yang berani melawan gurunya. Bahkan dalam sejumlah kasus mereka berkelahi dengan guru.

Kedua, memahami Hak Asasi Manusia (HAM) secara berlebihan. Setelah HAM mewarnai dan memasuki hampir semuam gerak dan ruang kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan, hukuman tidak lagi bisa diterapkan sebagai media pembelajaran. Tidak jarang guru diperkarakan oleh murid karena kekerasan yang dari sisi guru itu dianggap sebagi hukuman yang mendidik.

Tak sedikit kasus pula yang berujung ke kepolisian. Dan sedihnya, wali siswa lebih  berpihak kepada  anak mereka daripada ke guru. Lain dengan zaman saya belajar. Ketika saya dipukul oleh guru misalnya, orang tua justru mendukung guru. Mereka berkeyakinan tak mungkin guru memukul jika anaknya tak bersalah. Mereka juga memaklumi bahwa hukuman itu bagian dari pendidikan.

Ketiga,salah memahami kesetaraan. Seiring dengan majunya teori pendidikan, guru dan peserta didik dianggap setara. Pembelajaran di kelas sudah tak searah lagi, dari guru ke peserta didik. Pembelajaran dilakukan menjadi dua arah, guru ke siswa dan sebaliknya. Peran guru tak sedominan dulu.

Guru berperan hanya sebagai fasilitator dan pembimbing. Sumber belajar juga tidak hanya guru seperti disinggug sebelumnya. Akibatnya guru dipandang tak sepenting seperti dulu. Sehingga hukuman sebagai media yang diuganakan guru sebagai alat pembelajaran ditolak oleh peserta didik karena dinilai sudah tak zamannya lagi.

Belakangan menarik apa yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Mantan Rektor Muhammadiyah Malang tersebut mengatakan, bahwa sanksi fisik yang diberikan seorang guru terhadap murid merupakan sesuatu yang bisa ditoleransi. Menurutnya, sekarang itu banyak orang salah paham dalam memahami HAM. Jadi tentang HAM melarang tindakan kekerasan itu setuju tapi dalam batas tertentu. Sanksi fisik pun bisa ditoleransi dalam pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun