Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama divonis hakim dengan 2 tahun penjara. Vonis hakim tersebut melebih tuntutan jaksa. Jaksa hanya menuntut Ahok dengan penjara 1 tahun setelah menjalani masa percobaan 2 tahun karena dinilai melanggar Pasal 156 KUHP tentang penistaan suatu golongan. Sedangkan hakim menggunakan Pasal 156 huruf a KUHP tentang penistaan agama. Putusan hakim terhadap kasus Ahok telah menimbulkan polemik di tengah publik. Ada sebagian masyarakat yang menyambut baik, tapi tak sedikit pula yang menilainya sebagai putusan yang keterlaluan, tidak mencerminkan keadilan
Vonis terhadap Ahok menggiring publik pada persoalan baru, apa masih perlu kita menerapkan Pasal 156 huruf a KUHP tentang penistaan agama? Banyak pihak beranggapan bahwa Pasal tersebut merupakan pasal karet yang sangat rawan ditarik ke mana saja sesuai dengan kepentingan yang ada. Pasal itu telah menjatuhkan banyak korban. Ahok bukan yang pertama. Bisa juga bukan yang terakhir jika Pasal tersebut tetap diberlakukan atau tidak direvisi. Banyak contoh yang telah menjadi korban. Ada kasus Antonius Richmon di tahun 2011 yang lalu. Antonius Richmon Bawengan yang menyebarkan selebaran dan buku di Temanggung dianggap melecehkan keyakinan agama tertentu. Dia mendapatkan vonis secara maksimal berdasarkan KUHP, yaitu 5 tahun.
Kasus lain dialami Syamsuriati alias Lia Eden, pendiri Komunitas Eden. Wanita nyentrik tersebut dinyatakan bersalah karena menyerukan penghapusan seluruh agama. Lia Eden diganjar hukuman penjara. Ada pula Pemimpin Syiah di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Tajul Muluk alias Haji Ali Murtadho, yang dihukum dengan dakwaan penodaan dan penistaan agama hanya karena berbeda dalam persoalan fiqhi bahwa salat boleh dilakukan dalam tiga waktu. Kasus penistaan agama yang cukup populer adalah yang dilakukan Arswendo Atmowiloto, yang kala itu menjadi Pemred Majalah Monitor pada tahun 1990. Majalah ini mengumumkan hasil survei mengenai tokoh yang paling diidolakan masyarakat Indonesia. Dia menempatkan nabi Muhammad SAW pada urutan kesebelas dibawah tokoh lain seperti Presiden Soeharto.
Terkait keberadaan Pasal 156 dan 156 a, Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Kumham, Enny Nurbaningsih menyatakan bahwa pemerintah dalam rapat panja KUHP tetap mempertahankan keberadaan pasal tersebut. Pemerintah merasa perlu adanya pasal tersebut sebagai bentuk perlindungan terhadap agama. Menurut Enny, nantinya pasal penodaan agama, yang saat ini ada pada pasal 156 KUHP dimasukan dalam kategori delik materiil. Artinya, tindak pidana yang dijerat pasal tersebut harus dibuktikan akibatnya terlebih dahulu. Dengan demikin tindak pidana penistaan agama dinyatakan terjadi jika terbukti membawa akibat yang nyata. (http://nasional.kompas.com)
Sementara itu, Pakar hukum tata negara Refly Harun memandang pengenaan pasal penistaan agama harus betul-betul dipertimbangkan dari berbagai aspek. Menurut dia, ucapan saja tidak kuat menjadi bukti konkret bahwa seseorang telah menistakan agama. Bisa jadi itu hanya perbedaan pendapat. Jika hal demikian yang terjadi, maka dialog menjadi pilihan solusinya. Baginya, ajaran agama tidak begitu saja ternoda dengan komentar, melainkan dengan perbuatan yang merendahkan agama tertentu.
Perlu direvisi
Menurut hemat saya, Pasal 156, dan 156 a tentang penistaan agama masih diperlukan. Sebab, Indonesia adalah bangsa yang menjungjung tinggi nilai-nilai agama. Sila pertama Pancasila menegaskan hal itu. Karenannya sangat wajar jika negara melindungi semua agama atau keyakinan yang dianut oleh warga negara. Pasal tentang penistaan agama seharusnya dimaknai untuk tujuan tersebut.
Kemudian Indonesia merupakan negara demokrasi. Demokrasi tak berarti bebas tanpa batas. Demokarasi tetap membutuhkan aturan guna mengatur ketertiban umum. Sehingga semua hak warga negara terlindungi. Sebaliknya mereka juga diminta untuk menghormati orang lain. Kaitan dalam kehidupan beragama, Pasal 156 ayat a KUHP dipandang masih relevan. Diperlukan. Hanya penerapannya kudu selektif. Tidak asal. Tidak dipaksakan, apalagi ditunggangi kepentingan lain, politik misalnya. Sebab faktanya, setiap kali ada kasus dugaan penistaan agama maka proses hukumnya selalu dibarengi dengan tekanan massa. Ini sebuah ironi. Bukankah hukum itu wajib independen, bebas tak boleh diintervensi?
Pasal itu perlu disempurnakan, dijelaskan lebih jauh. Dalam KUHP Pasal 156 hanya menyebutkan bahwa, “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghnaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan, atau kedudukan menurut hukum tata negara.”
Pasal tersebut kudu dijabarkan lebih jauh. Apa yang dimaksud dengan perasaan permusuhan? Kebencian? Atau penghinaan? Sebab kata-kata tersebut masih bersifat umum yang dapat diartikan apa saja. Apalagi soal perasaan. Bagaimana cara mengukur bahwa sesuatu (perkataan/perbuatan) dikategorikan sebagai perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan?
Kemudian Pasal 156 a mengatakan “ Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:a yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”