Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batalkan Sekolah Lima Hari

17 Juni 2017   06:28 Diperbarui: 17 Juni 2017   08:40 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: idnews.co.id

Rencananya, mulai tahun pelajaran 2017-2018 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan menerapkan kebijakan lima hari sekolah dalam seminggu. Hari Sabtu dan Minggu akan menjadi hari libur baik bagi murid maupun guru. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, kebijakan ini sesuai dengan standar kerja Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab, dalam lima hari kerja tersebut, waktu pembelajaran minimum menjadi delapan jam. Sehingga, dalam sepekan para guru akan mengajar selama 40 jam. Kabarnya, pemerintah sedang mengodok regulasi terkait kebijakan tersebut.

Menteri Kabinet Kerja yang satu ini nampaknya bersikukuh akan menerapkan kebijakan kontroversial tersebut. Sebelumnya wacana dilempar ke publik dengan istilah full day school. Penolakan datang dari berbagai pihak. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Zainut Tauhid Sa'adi, meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengkaji kebijakan sekolah lima hari karena akan berpengaruh terhadap pendidikan keagamaan seperti pesantren dan madrasah. Kebijakan yang membuat pelajar menempuh pendidikan selama delapan jam per hari ini berpotensi membuat madrasah dan pesantren gulung tikar. (nasional.tempo.co)

Hal senada ditegaskan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kebijakan full day school akan berdampak pada 50 juta siswa. Karena itu, sebaiknya kebijakan tidak boleh diputuskan di tingkat menteri tapi dalam rapat terbatas. Banyak persoalan yang menjadi hambatan seperti soal makan siang peserta didik, kesiapan guru dan lainnya. Bakal ada sekolah yang siap melakukan rencana kebijakan ini, dan ada yang belum siap. Karena itu, bila akan dilakukan, full day school tidak bisa dilakukan secara umum, tapi secara bertahap. (http//nasional.tempo.co)

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta rencana penerapan Full Day School oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menuai kontroversi di kalangan masyarakat tersebut, harus memberikan jaminan terhadap kelangsungan madrasah diniyah dan pondok pesantren. Jika tidak ada jaminan, sebaiknya dikaji secara lebih mendalam lagi dampak negatif (mudharat) yang ditimbulkannya, karena ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. (http://nusantaranews.co)

Sebagai salah satu pendidik di negeri ini, saya melihat kebijakan full day school (FDS) sangat dipaksakan, terburu-buru. FDS pertama kali diwacanakan setengah tahun yang lalu ketika Muhadjir Efendy baru menjabat sebagai Mendikbud. FDS sejak awal mendapat banyak penolakan dari bawah terutama mereka yang memilki perhatian dengan sosio kultur pedesaan lebih khusus pada keberadaan madrasah diniyah. Kebijakan ini mirip seperti Kurtilas saat pertama kali diberlakukan. Di penghujung jabatan, walau persiapan belum matang diberlakukan.

FDS mengabaikan sejarah. FDS terkesan hanya wacana asal beda. Tak melihat latar belakang pendidikan di Indonesia, tepatnya sumbangsi dan peran madrasah selama ini dalam mendidik dan membentuk karakter anak bangsa. Padahal, dalam sejarah sekolah itu lahir dari madrasah-madrasah yang sudah ada di nusantara sejak sebelum kemerdekaan. Saya meragukan FDS ala Kemendikbud ini menjamin kelangsungan madrasah dan pesantren yang jumlahnya cukup besar. Padahal seperti ditegaskan Ruchman Basori, aktivis GP Ansor madrasah adalah pakunya Indonesia. Sebab madrasah setidaknya konsen menanamkan akhlak luhur atau sekarang disebut-sebut sebagai karakter, mengajarkan pemahaman agama yang terbuka, moderat dan toleran, juga menunjukkan komitmen dan loyalitas yang tinggi kepada negara. (http://www.nu.or.id)

FDS menunjukkan kecongkakan kemendikbud. Menteri Muhadjir Efendy tak menggubris berbagai masukan yang ada. Tak memperhatikan aspirasi dari bawah yang merasa belum siap menerapkan FDS. Mengabaikan suara kaum sarungan yang resah terkait nasib para santri di madrasahnya. Kemendikbud bersikukuh dengan pendirian walau mendapat penolakan kuat. Tak terlihat kearifan dengan mengedepankan kemaslahatahan yang lebih besar dan mengindari mudharat sekecil apa pun.

Pendidikan di Indonesia seperti laboratorium. Sebagai guru yang setiap hari bersentuhan dengan peserta didik, saya sedih menyaksikan dan melihatnya. Mereka dijadikan layaknya bahan uji coba. Kebijakan pendidikan selalu berganti-ganti. Ganti menteri,  ganti kebijakan. Bongkar pasang regulasi dirasakan menyusahkan tak hanya bagi guru, peserta didik  juga orang tua. Rasanya, banyak orang pintar tak menjamin mendatangkan manfaat. Mereka hanya mendatangkan kegaduhan, keresahan di tengah masyarakat.

Saran

Sebab itu, saya menyarankan pertama, batalkan keputusan pemberlakuan FDS. Saya melihat penerapkan FDS tak tepat waktu. Masih banyak hal lain yang lebih penting dalam dunia pendidikan dibanding soal FDS. Seperti peningkatan mutu dan kualitas guru, memperbaiki atau melengkapi sarana, pemerataan pendidikan, terkait soal guru honorer yang jumlahnya tak sedikit dan persoalan lainnya. FDS  ala Kemendikbud telah mengabaikan, mengesampingkan kearifan lokal. Bukankah keberadaan madarasah adalah akar budaya masyarakat yang tak boleh diabaikan?

Kedua,lakukan kajian mendalam terlebih dahulu. Pertimbangkan berbagai aspek yang ada. Perhatikan masukan dari berbagai pihak. Pemerintah tak boleh menutup mata. Mendikbud tak sepantasnya merasa paling hebat, apalagi merasa paling benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun