Bukankah sejumlah partai terlihat kontras apa yang diomongkan dengan apa yang dilakukan? Ungkapan menentang politik identitas tak lebih sebagai lipstik belaka. Saya sendiri tak meyakini bahwa mereka (para politisi) akan meninggalkan politik identitas tersebut. Politik tetaplah politik. Politik adalah merebut kekuasaan bagaimanapun caranya. Dalam politik menghalalkan segala cara adalah biasa.
Pilpres 2024 diprediksi oleh banyak pihak bakal lebih panas dari sebelumnya. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari telah mengingatkan bahwa akan ada potensi poltik identitas dan polarisasi ekstrem pada Pilpres 2024. Qodari memperkirakan politik identitas akan menguat tajam  dan lebih keras dari sebelumnya. Sepatutnya  semua pihak menceganya jauh-jauh hari.  Sebab hal tersebut terkait dengan kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara di masa mendatang.
Sekarang bagaimana mengantisipasinya? Menurut hemat saya ada beberapa hal yang bisa dilakukan, pertama menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya politik identitas. Pendidikan politik mutlak dibutuhkan. Upaya memberikan penjelasan tentang bahaya politik identitas di akar rumput kudu segera dilakukan.Â
Publik sepantasnya mendapat pencerahan bagaimana berpolitik secara sehat, santun, beradab dan berbudaya. Kesadaran masyarakat diharapkan meminimalisir praktik politik identitas. Ibarat orang berdagang penjual tak akan berjualan barang dagangan jika diyakininya barang tersebut tak laku.
Kedua, belajar dari pengalaman. Pilpres 2014, 2019 serta Pilkada di sejumlah daerah khususnya DKI 2017 lalu sepantas menyadarkan semua pihak bagaimana bahaya politik identitas. Bangsa Indonesia diambang perpecahan. Masyarakat terbelah. Istilah cebong, kampret, kadrun tak lain merupakan bukti konkrit perpecahan tersebut. Sebagai masyarakat beradab sepantasnya itu semua dijadikan pelajaran. Jangan sampai kita semua melakukan kesalahan yang sama. Jangan sampai masuk, terjebak pada lobang yang sama.
Ketiga, tak memberi kesempatan kepada mereka yang pernah menggunakan politik identitas guna meraih kekuasaan. Dalam hal ini partai politik sepantasnya mengambil peran yakni dengan tidak mencalonkan mereka yang pernah terlibat praktik politik identitas. Demikian dengan masyarakat luas, jangan pilih mereka yang menggunakan politik identitas yang memecahbelah  tersebut. Jika masih ada partai politik yang masih bermain mata dengan politisi yang terbukti pernah melakukan politik identitas maka sepantasnya untuk ditinggalkan. Jangan dipilih. Sebab komitmen mereka melawan politik identitas patut diragukan. Mereka telah mengelabui rakyat.
Keempat, membuka peluang seluas-luasnya bagi tokoh nasioanalis yang memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi dari unsur manapun, tak harus dari partai. Komitmen kebangsaan dapat dilihat dari rekam jejak yang bersangkutan sebelumnya. Pastikan bahwa calon pemimpin ke depan tak pernah bersentuhan atau memiliki hubungan dengan politik identitas. Partai politik sepatutnya mampu menilai, memilih para pemimpin masa depan disamping memiliki integritas dan kapasitas juga mempunyai komitmen terhadap keutuhan NKRI. Tak mengingkari Pancasila. Saya merasa prihatin saat di media sosial banyak ajakan, menawarkan sistem khilafah sebagai solusi menghadapi berbagai kesulitan bangsa. Ini perlu diwaspadai kita semua.
Kelima, memperkuat kesatuan dan persatuan dengan mengembangkan sikap toleransi dalam berbagai perbedaan yang ada. Toleransi itu sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling membantu. Budaya gotong royong yang mulai memumadar sepantasnya dikokohkan Kembali.
Walhasil diantara yang menjadi ancaman NKRI sekarang adalah politik identitas. Politik identitas terbukti memecahbelah persatuan. Mari belajar dari pengalaman. Segala hal yang memecahbelah kudu dilawan dan dihentikan termasuk politik identitas. Wa Allahu a'lam bishawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H