Belakangan ada desakan dari banyak pihak di media sosial untuk membubarkan Majlis Ulama Indonesia (MUI). MUI dinilai  sengaja atau tidak telah mendorong tindak kekerasan berlatar belakang pemahaman agama. Atau paling tidak melakukan pembiaran terhadap sebagian pengurus atau anggota melakukan pembelaan terhadap tindakan intoleran tersebut. Prilaku dan ucapan sebagian pengurus (yang vocal menguasai media seperti Anwar Abbas) pun telah menegaskan hal dimaksud.
Dalam sejarahnya, MUI dibentuk di era orde baru. Majelis Ulama Indonesia berdiri 26 Juli 1975 di Jakarta. Â Awalnya MUI dibentuk guna membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang menyangkut kemaslahatan umat Islam, seperti mengeluarkan fatwa dalam kehalalan sebuah makanan, penentuan kebenaran sebuah aliran dalam agama Islam, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seorang muslim dengan lingkungannya.Â
Di era orde baru, tak dipungkiri MUI senantiasa menjadi pendukung setiap kebijakan yang diambil pemerintahan Presiden Soeharto. MUI ibarat stempel yang melegalisasi secara moral setiap langkah pemerintah saat itu. MUI dijadikan alat politk oleh rezim Soeharto. MUI digunakan Soeharto  mengontrol dan mengendalikan ormas-ormas Islam. Sebab banyak ormas terwakili dalam MUI.  MUI menjadi pelayan bagi pemerintah.
Perubahan dalam masyarakat sipil setelah jatuhnya Suharto telah memperluas peran MUI dan membuatnya semakin kompleks. MUI memberikan fatwa kepada masyarakat Islam; melalui ini mereka menentukan arah umum kehidupan umat Islam di Indonesia. Diantara kewenangan yang diemban adalah soal sertifikasi halal. Untuk masalah ini telah memunculkan kontroversi, bagaimana pendapatan dari sertifikasi halal misalnya? MUI bersikeras itu adalah haknya. Beberapa pihak mengusulkan untuk dilakukan audit tapi MUI Â menolak.
Hal lain yang sering menimbulkan pro kontra adalah terkait fatwa-fatwa MUI. MUI dipandang liar dalam mengeluarkan fatwa. Seringkali menimbulkan kegaduhan. Yang paling nyata adalah saat MUI mengeluarkan fatwa haram memilih pemimpin non muslim menjelang Pilkada Jakarta 2017 silam. Â Juga fatwa kesesatan Ahmadiyah telah menjadi teror bagi sebagian umat Islam. Bahkan fatwa tersebut telah mengakibatkan tindakan pengerusakan masjid, mengancam jiwa, dam memecah kerusuhan sosial di beberapa tempat.
Lebih menyedihkan, belakangan MUI melalui para juru bicaranya kerapkali secara tidak langsung mendorong tindakan intoleransi melalui pernyataan atau narasi yang memecah belah. Â Mengkafirkan, menyesatkan sesama umat Islam dan sesama anak bangsa. Coba perhatikan bagaimana statemen-stamamen Anwar Abbas! Pernyataan wakil ketua MUI itu jauh dari menyejukan. Jauh dari menyatuhnkan. Propokatif dan memecahbela persatuan. Saya kadang berpikir kemana ketua umumnya? Seakan terhadap yang bersangkutan dilakukan pembiaran?
Yang paling mutakhir adalah terkait penangkapan salah satu anggota Komisi Fatwa MUI oleh Densus 88 menjadi pukulan telak bagi lembaga tempat berkumpulnya orang yang diklaim sebagai ulama tersebut. Zain An Najah diduga terlibat dalam kegiatan terorisme. Disebutkan yang bersangkutan tercatat sebagai anggota Jamaah Islamiyah (JI). Diduga terlibat dalam penggalangan dana kegiatan teror dalam JI. Maka desakan penbubaran MUI pun menyeruak. Diserukan banyak pihak.
Tuntutan pembubaran MUI  saya nilai  kurang tepat. Berlebihan dan terlihat sebagai respon emosional. Tapi hal tersebut wajar muncul jika dikaitkan dengan statemen atau narasi yang disampaikan MUI melalui sejumlah pengurus terasnya seperti Anwar Abbas. Bukankah sebelumnya Anwar Abbas secara terbuka mengusulkan pembubaran Densus 88? Bahkan terakhir menjawab tuntutan pembubaran, Anwar Abbas mengancam balik menuntut pembubaran NKRI. Tentu ini sangat belebihan. Konyol. Dan bisa dipahami sebagai pembangkangan terhadap negara.
Sebaliknya, menyalahkan Densus 88 Anti Teror juga tidak bijak. Sebab mereka bekerja berdasarkan Undang-undang. Densus tak bisa menangkap sembarang orang. Sebelum penangkapan, mereka harus memiliki bukti kuat sesuai dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dan seperti ditegaskan Menko Polhukam Mahfud MD, Densus telah melakukan pengawasan terhadap Ahmad Zain An-Najah jauh sebelum penangkapan terjadi.
MUI wajib berubahÂ
Menurut hemat saya, sekarang MUI secepatnya melakukan intropeksi diri. Jadikan insedent Zain An-Najah sebagai pelajaran berharga sehingga tak terulang kembali. MUI saatnya merubah diri. Â MUI sepantasnya berbenah untuk menjaga citra dan marwahnya yang dari waktu ke waktu merosot tajam, terjun bebas. Ini ibarat gelombang besar yang menerjang dan menghantam. Eksistensi MUI sungguh dipertaruhkan.