Mohon tunggu...
Amirudin Mahmud
Amirudin Mahmud Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan pemerhati sosial-politik

Penulis Buku "Guru Tak Boleh Sejahtera" Bekerja di SDN Unggulan Srengseng I Indramayu Blog. http://amirudinmahmud.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memilih Tak Harus Menjatuhkan

8 Maret 2019   09:59 Diperbarui: 8 Maret 2019   10:52 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan belakangan saya kerapkali meneriman kiriman tulisan di WhatsApp. Tulisan tersebut hampir semuanya bukan dari pikiran sang pengirim, dalam hal ini teman-teman saya. Mereka cuma menshare (membaginya). 

Entah oleh yang bersangkutan dibaca, dipahami, dan diteliti terlebih dahulu atau tidak. Untuk sebagian kasus saya menduga itu tak dilakukannya. Terlihat dari isi tulisan jauh berbeda dengan latar belakang pendidikan, lingkungan sosial, dan kepribadian pengirim pesan yang saya kenal selama ini.

Materi tulisan kebanyakan bertemakan dua hal agama dan politik. Awalnya saya hanya membacanya sambil lalu. Kenapa? Karena dari awal tulisan sudah terbaca sangat tendensius, provokatif, dan menyudutkan satu pihak atau golongan. Saya mengabaikannya. Tak membalas. Tak sedikit dari mereka tak kapok walau tulisan yang dikirim tak ditanggapi. 

Terus saja mengirim, akun WhatsApp  saya miliki mungkin dianggapnya sebagai sampah. Jika ditanggapi, saya yakin urusan menjadi panjang. Paling yang ada hanya debat kusir. Diam menjadi pilihan tepat. Kecuali beberapa pesan yang masih layak diresponds.

Tema-tema tulisan berkaitan dengan segala hal yang lagi viral di media sosial, juga hal-hal yang sudah lama berseliweran di media sosial seperti tentang kebangkitan PKI dengan tuduhan terhadap Jokowi sebagai anggota partai terlarang tersebut. 

Mengenai etnis cina yang akan dan sudah mulai menguasai Indonesia sejak kepemimpinan Jokowi.  Prihal jutaan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia di era Jokowi JK. Juga tema-tema yang lagi viral seperti soal doa yang tertukar, munajat 212, larangan adzan, dilegalkannya perkawinan sejenis, Ahok menggantikan Makruf Amin dan isu-isu miring laiinya.

Seminggu terakhir saya berubah pikiran. Saat ini, nampaknya diam bukan solusi yang pas. Sebab dua hal, pertama masifnya fitnah dan hoaks di jejaring sosial seperti Facebook, WhatsApp atau laiinya. Terkesan terorganisir secara sistematis. Pesan sacara berantai disebar. Cenderung seperti kegiatan politik, kampanye dari kedua pasang capres. 

Bahkan ada yang secara jujur mengatakan secara terbuka, mengajak orang lain guna menjadikan HP sebagai posko pemenangan Capres. Kedua, tensi dan emosi dalam tulisan-tulisan itu lebih memanas. Maka sepatutnya diingatkan ke semua pihak bahwa kegiatan politik saat ini telah melampaui batas wajar. Sehingga sehingga kehidupan mulai terasa mencekam. Terbayang kerusuhan, keributan dalam kenyataan seperti yang telah terjadi di dunia maya.

Sekarang media sosial dijadikan arena pertempuran politik masif jelang Plipres mendatang. Saling menyerang. Saling memfitnah, Saling menuduh. Memutarbalikan fakta. Mempproduksi berita hoaks dan menyebarluaskannya. Akal sehat telah tergadaikan oleh ambisi berkuasa yang memuncak. 

Nalar tak digunakan lagi. Demokrasi menjadi mencekam. Semua pihak tak bisa menahan diri. Di dunia nyata mereka pun saling lapor-melaporkan ke pihak berwajib.

Kesadaran Berasama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun