Belum lama, dalam peringatan Harlah Muslimat NU di Gelora Bung Karno Jakarta Presiden Joko Widodo mengatakan jangan karena beda pilihan dalam Pilpres diantara kita saling berantem. Bermusuhan dengan tetangga. Keluarga menjadi terbelah.Â
Jokowi meminta umat Islam Indonesia agar tak menjadikan pesta demokrasi sebagai perusak silaturahmi antar umat dan warga negara lainnya. Sebagai negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia, sepatutnya umat Islam menjaga nilai-nilai toleransi.
Apa yang dikhawatirkan oleh Kepala negara menjadi keprihatinan kita semua. Gejala dan tanda-tanda perpecahan mulai muncul akibat gesekan dalam konstelasi Pemilu lebih khusus Pilpres.Â
Indikasinya dapat dilihat dengan munculnya berbagai fitnah, ujaran kebencian, penyebaran berita hoaks dan polarisasi yang menguat dalam masyarakat menyikapi pemilihan presiden. Lebih nyata saat melihatnya dalam dunia maya.Â
Media sosial menjadi medan pertikaian, saling tuduh dan saling menyerang antara sesama anak bangsa. Dunia maya telah menggambarkan suasana batin dunia nyata bangsa Indonesia saat ini.
Indonesia sebagai negara demokrasi, Â 2019 bukanlah tahun pertama diselenggarakannya pemilihan umum. Sejak 1955 Indonesia menggelar Pemilu. Sudah sebelas kali Pemilu. Yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014..Tahun ini adalah yang kedua belas kalinya Pemilu dilaksanakan. Â
Sama halnya dengan Pilpres. Sejak tahun 2004, Indonesia memilih Presiden secara langsung. Kita sudah memiliki pengalaman tiga kali Pilpres (2004, 2009 dan 2014). Sepanjang sejarah, Â demokrasi yang dilalui Indonesia dinamikanya tak mengkhawatirkan seperti yang terjadi Pemilu dan Pilpres tahun ini. Mengapa?
Ada beberapa hal yang  melatarbelakanginya. Pertama, politik identitas merupakan corak politik yang mengedepankan identitas dan kelompok masyarakat tertentu. Identitas dimaksud bisa suku, ras, dan agama (SARA). SARA dijadikan media menjatuhkan, menyerang dan melawan lawan politik.Â
Juga sebaliknya, digunakan sebagai alasan berafiliasi atau menentukan pilihan politik. Menurut Mahfud MD, politik identitas menjadi ancaman serius bagi Indonesia karena memicu perpecahan dan permusuhan yang didasari perbedaan pilihan.
Terkait politik identitas, Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu menjadi preseden buruk bagi perkembangan demokrasi di tanah air. Pasalnya, Pilgub yang menentukan pemimpin ibu kota tersebut ditengarai penuh dengan politik identitas.Â
Isu agama dipilih sebagai media berkampaye. Menyerang lawan secara membabi buta. Massa diperalat guna memancing emosi publik. Mereka dimobilisasi dengan emosi agama untuk kepentingan politik sesaat. Rumah ibadah dijadikan tempat kampanye. Sampai persoalan jenazah ditarik dalam ruang politik.