Ada pendapat, maraknya korupsi di lingkungan partai politik (Parpol) disebabkan oleh faktor pendanaan Parpol. Parpol dianggap tak memilki sumber dana yang resmi. Kalaupun ada dari Pemerintah jumlahnya sangat kecil. Saat ini  dana batuan untuk Parpol yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya sebesar Rp. 108 per suara. Sebab itu, para politisi kerap mengusulkan kenaikan dana bantuan Pemerintah tersebut. Alasan mereka untuk mengurangi potensi korupsi.
Belakangan, aspirasi di atas dipenuhi oleh Pemerintah. Seperti ditegaskan oleh Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Soedarmo, mulai tahun depan dana bantuan untuk partai politik berpotensi naik. Sudah disepakati bersama Kementerian Keuangan, kelak per satu suara akan dianggarkan menjadi Rp. 1000. Kemendagri sedang mengajukan izin untuk memprakasai revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2009 tentang bantuan keuangan kepada Parpol. (http://www.cnnindonesia.com/)
 Menanggapi rencana Pemerintah, juru bicara KPK Febri Diansyah mengapresiasi secara positif. Dia menyebutkan usulan peningkatan dana bantuan parpol dari Kemendagri tersebut dapat menjadi cara guna mencega tindak pidana korupsi. Pasalnya, selama ini anggaran Parpol menjadi salah satu fokus program KPK dalam bidang pencegahan. Harapanya peningkatan tersebur dapat mereduksi kebutuhan parpol yang sebelumnya sulit dari sumber resmi. Hanya saja, Febri Diansyah mengingatkan dana parpol harus akuntabel dan dikelola secara transparan. Juga wajib ada perbaikan dalam internal partai politik.
Kenaikan dana partai juga disambut baik oleh sejumlah Parpol yang ada. Â PAN misalnya, (seperti ditegaskan sang Sekjen) menilai kenaikan kudu wajar dan rasional. Kenaikan juga merujuk pada program pengkaderan dan pelatihan yang perlu dilakukan parpol dalam mencetak kader dan politikus yang andal, Â berintegritas. Selain itu, PAN mempertimbangkan untuk merujuk praktik demokrasi di negara lain yang memiliki karakter demokrasi yang mirip dengan Indonesia.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan kenaikan dana parpol cukup membantu. Namun, kata dia, itu tak signifikan untuk membiayai parpol dengan lingkup nasional.
 Menurut dia di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bantuan dana parpol sempat di angka Rp 1000, namun kemudian diturunkan menjadi Rp 108 per suara. Fadli mengusulkan bantuan pemerintah untuk partai politik adalah Rp 5000 per suara. (news.detik.com)
Pertanyaanya, apa dengan kenaikan dana parpol korupsi akan berkurang? Rasanya sulit juga menjawab dan memastikannya. Apa yang ditegaskan juru bicra KPK Febri Diansyah tak lebih dari sebuah harapan. Pada praktiknya, tentu tak menjamin. Kenapa? Sebab, selama ini yang melakukan korupsi bukan orang miskin yang kekurangan materi. Justru sebaliknya, mereka bergelimang materi. Pejabat tinggi (anggota DPR, MK, KY, DPD, menteri,  juga lainnya) dengan harta berlimpah masih korupsi. Pengusaha kaya raya juga melakukan hal yang sama, seakan mereka belum puas dengan apa yang dimiliki. Ternyata, sebab korupsi itu tak sebatas kekayaan  atau bantuan dana parpol misalnya. Tak sekadar soal jumlah materi yang dimiliki sang koruptor.
Menurut hemat saya, Banyak faktor yang mendorong orang melakukan tindak pidana korupsi. Diantaranya, Pertama,faktor mental dan karakter. Ini faktor terpenting. Keduanya memilki andil sangat besar dalam mendorong atau menahan seseorang untuk melakukan korupsi. Mental terkait dengan kondisi kejiwaan (bathin) dan watak seorang. Sedangkan karakter adalah sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Karakter merupakan bahasa lain dari akhlak. Yakni perangai yang sudah melekat, menyatuh pada diri seseorang seperti kejujuran, disiplin, kerja keras, tanggungjawab dan lainnya.
Kematangan mental dan kuatnya karakter seseorang dibentuk melalui pendidikan baik secara formal atau non formal seperti belajar otodidak, pengalaman hidup dan lainnya. Kaitan dengan hal ini, lingkungan juga sangat berpengaruh. Keluarga, masyarakat luas memilki andil dalam menggodok mental dan karakter seseorang. Semuanya saling terkait, saling menguatkan. Tak bisa mengandalkan pendidikan saja misalanya. Atau menyandarkan lingkungan keluarga semata. Sebab itu, tak sedikit para koruptor yang berpendidikan tinggi (S.1, S.2, bahkan profesor). Ada juga yang berlatar belakang keluarga baik-baik.
Kedua,gaya hidup instan. Yaitu hidup tak mau susah. Hidup cara cepat. Mengambil jalan pintas. Dalam segala hal, diambil enaknya saja. Ingin kaya tak mau kerja keras. Lulus sekolah dengan cara mencontek. Gaya hidup instan sangat  digandrungi masyarakat milenial. Jangankan pada persoalan yang besar, pada soal-soal kecil pun mereka menempuh jalur instan. Gaya hidup seperti itu mendorong seseorang melakukan segala cara. Melanggar aturan, memotong prosedur. Termasuk menghalalkan yang haram. Apa pun dilakukukan dalam memenuhi keinginannya baik berupa jabatan atau materi secara cepat. Tak peduli dengan hak orang lain. Tak memikirkan aset atau kerugian negara. Tak mempedulikan  kepentingan orang banyak. Baginya hidup harus enak, diperoleh secara cepat. Maka KKN pun dilakukan.
Ketiga,keserakahan. Serakah itu tidak pernah merasa puas dengan hasil yang sudah didapatkan. Bahasa lainnya adalah tamak yaitu rakus karena  cinta dunia secara berlebihan. Cinta dunia telah  membutakan seseorang. Serakah merupakan salah satu dari penyakit hati yang sangat membahayakan.  Seorang yang serakah akan menginginkan sesuatu lebih banyak. Dia tidak peduli bagaimana cara memperolehnya. Baginya,  tujuannya harus tercapai meskipun harus melanggar hukum. Tak peduli walau merampas hak yang lain. Bahkan tidak memikirkan jika perbuaatannya akan mengorbankan kehormatan dirinya. Di matanya, hanya terlihat keinginan, ambisi atau nafsunya.
Singkat kata, dana parpol boleh saja dinaikan. Itu sekadar upaya Pemerintah meminimalisir, mencegah potensi korupsi di kalangan parta politik. Tak ada jaminan akan mengurangi tindak pidana korupsi. Bagi saya, korpsi itu bergantung pada mental, karakter dan akhlak bangsa ini. Revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi memang solusi tepat. Hanya pelaksanaanya masih perlu dievaluasi. Butuh keseriusan dari semua pihak. Butuh waktu dan kesabaran. Revolusi mental kudu dimulai dari hal-hal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya. Mengindari mencontek atau plagiat. Menghargai kerja keras. Mengedepankan tanggungjawab. Berlatih disiplin. Menghargai waktu. Dan masih banyak lagi. Wa Allahu Alam