Promosi menjadi kepala sekolah telah disosialisasikan kepada para guru. Sayangnya, minat menjadi kepala sekolah sangat minim sekali. Di kecamatan dimana saya bekerja hanya ada tiga guru yang berniat mengikuti promosi pada tahun ini. Padahal kebutuhan kepala SD di wilayah tersebut lebih dari itu. Sebagai orang yang bekerja, naik posisi atau jabatan tentu dirindukan. Tapi kenapa promosi jabatan kepala sekolah tak diminati?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, sebaiknya dijelaskan terlebih dulu siapa kepala sekolah itu? Kepala sekolah adalah guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin suatu sekolah yang diselenggarakan proses belajar-mengajar atau tempat terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. Secara etimologi, menurut wikipedia.org kepala sekolah merupakan padanan dari school principal yang tugas kesehariannya menjalankan principalship atau kekepala sekolahan. Istilah kekepala sekolahan mengandung makna sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi sebagai kepala sekolah. Penjelasan ini dipandang penting, karena terdapat beberapa istilah untuk menyebut jabatan kepala sekolah, seperti administrasi sekolah (school administrator), pimpinan sekolah (school leader), manajer sekolah (school manajer), dan sebagainya.
Kepala sekolah mengemban tugas pokok yang tak ringan. Tugas pokok kepala sekolah pada semua jenjang mencakup tiga bidang, yakni (a) tugas manajerial, (b) supervisi dan (c) kewirausahaan. Tugas manajerial kepala sekola meliputi aktivitas sebagai berikut: menyusun perencanaan sekolah, mengelola program pembelajaran, mengelola kesiswaan, mengelola sarana dan prasarana, mengelola personal sekolah, mengelola keuangan sekolah, mengelola hubungan sekolah dan masyarakat, mengelola administrasi sekolah, mengelola sistem informasi sekolah, mengevaluasi program sekolah, serta memimpin sekolah.
Selain tugas manajerial, kepala sekolah juga memiliki tugas pokok me-lakukan supervisi terhadap pelaksanaan kerja guru dan staf. Tujuannya adalah untuk menjamin agar guru dan staf bekerja dengan baik serta menjaga mutu proses maupun hasil pendidikan di sekolah. Dalam tugas supervisi mencakup beberapa kegiatan. Diantaranya merencanakan program supervisi, melaksanakan program supervisi dan menindaklanjutinya.
Selanjutnya, tugas kewirausahaan. Tujuannya adalah agar sekolah memiliki sumber-sumber daya yang mampu mendukung jalannya sekolah, khususnya dari segi finansial. Selain itu juga agar sekolah membudayakan perilaku wirausaha di kalangan warga sekolah, khususnya para siswa.
Tugas pokok kepala sekolah sedemikian strategis. Sehingga seorang yang ingin menjadi kepala sekolah wajib memilki berbagai kompetensi. Diantaranya kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi suverpisi, juga kompetensi sosial. Apa karena prasyarat tersebut dianggap berat sehingga tak semua guru merasa yakin bisa menjadi kepala sekolah? Sehinggat tak banyak guru yang bersedia menjadi kepala sekolah? Menjawab pertanyaan ini jawabanya bisa “iya” , bisa “tidak”. Idealnya memang iya. Tapi dalam prakteknya, idealisme itu tak selalu hadir. Pragmatisme sering muncul termasuk dalam seleksi atau rekuitmen calon kepala sekolah.
Menurut hemat saya ada beberapa sebab, kenapa promosi calon kepala sekolah sepi peminat terutama di tingkat sekolah dasar. Bisa jadi SLTP dan SLTA juga sama. Pertama,secara ekonomi penghasilan kepala sekolah dengan guru tak selisih besar. Sementara tanggungjawab mereka sangat besar. Sebagai pemimpin, kepala sekolah memilki beban moral guna memajukan pendidikan di sekolah yang dipimpinya. Ketika tanggungjawab besar tak berbanding lurus dengan tunjangan sebagai pembeda penghasilan dari guru yang lain maka tak heran jika para guru enggan mengikuti promosi menjadi kepala sekolah. Mereka lebih nyaman menjadi guru. Kasarnya, jabatan kepala sekolah tak menggiurkan. Terlebih proses menjadi kepala sekolah tak mudah. Sangat panjang meliputi seleksi administratif, seleksi akademik dan seleksi eksebilitas.
Saya pernah mendengar keluhan seorang teman yang baru saja menjadi kepala sekolah. Istrinya protes, kenapa uang belanja bulanannya menjadi tersendat? Dia mengaku, gajinya sering digunakan untuk menutup kebutuhan sekolah saat h di sekolah yang siswanya minim, tak banyak. Kondisi seperti itu dapat dimaklumi. Bukankah perolehan BOS berdasarkan jumlah siswa?
Kedua,butuh anggaran lumayan besar. Menjadi kepala sekolah butuh uang. Tak ada yang gratis dalam birokrasi. Ini sudah menjadi rahasia umum. Berapa kebutuhanya, setiap daerah akan berbeda-beda. Setiap tingkatan juga berbeda. Kepala SD tentu tak sama dengan SLTP apalagi SLTA. Hal ini menjadi pertimbangan sendiri bagi para guru. Juga menjadi beban. Terlebih jika dikaitkan dengan penghasilan tambahan kepala sekolah.
Ketiga,jabatan kepala sekolah untuk di beberapa daerah dijadikan layaknya jabatan politik. Mereka menjadi mesin politik bagi yang berkuasa di daerah. Kepala daerah (Bupati/Walikota) telah melibatkan mereka dalam aktivitas politik daerah. Agenda pemilihan (baik Pemilu, Pilpres, Pilkada) dijadikan taruhan guna meraih atau mempertahankan jabatan. Tak sedikit kepala daerah yang menekan para kepala sekolah dalam setiap kebijakan baik terkait dengan pembangunan di daerahnya maupun urusan politik. Kondisi seperti membuat kepala sekolah tak nyaman dalam menjalan tugas pokoknya memajukan sekolah yang dipimpin.
Ke depan Pemerintah diminta untuk menaikkan tunjangan bagi kepala sekolah, menyesuaikan dengan tugas pokok yang diembannya. Sehingga ada keseimbangan antara kewajiban yang dipikul dengan hak yang akan diterimanya. Sistem rekuitmen calon kepala sekolah juga sepatutnya diubah. Sistem lelang jabatan yang telah diterapkan oleh di beberapa daerah layak ditiru oleh daerah lainnya. Jabatan tak seharusnya diperjualbelikan. Seseorang menduduki suatu jabatan seperti kepala sekolah semata-mata karena kompetensi dan kemampuan yang dimiliki yang bersangkutan. Kemudian, kepala daerah wajib memberikan keleluasan kepada kepala sekolah dalam mengelola pendidikan di satuannya. Pendidikan tak boleh diintervensi oleh siapa dan untuk apa pun termasuk kepentingan politik daerah. Pendidikan kudu mandiri. Sehingga usaha lembaga pendidikan dalam menghadirkan generasi terbaik akan mudah terwujud.