Saat pembagian rapor kenaikan kelas sekitar sekitar satu atau dua bulan yang lalu, guru di sekolah tempat anak pertama penulis belajar di kelas empat mengatakan bahwa tidak akan ada lagi peringkat atau ranking di dalam rapor. Hal ini dikatakan sebagai pelaksanaan kurikulum baru dari Kementerian Pendidikan Nasional. Walaupun hal ini sekilas tampak merugikan anak penulis yang selalu langganan rangking satu di kelasnya, namun bagi penulis hal ini tidak masalah, karena penulis juga sependapat bahwa sebaiknya tidak ada ranking/peringkat pada pendidikan tingkat dasar, agar anak-anak tidak terlalu fokus pada persaingan. Yang paling penting adalah bagaimana anak-anak menjadi senang untuk belajar khususnya dalam membaca dan mengekplore lingkungan sekitarnya.
Akan tetapi setelah anak kedua baru saja diterima di kelas satu sekolah dasar negeri (anak pertama sekolah di sekolah swasta terpadu keagamaan), penulis jadi ragu-ragu dengan penerapan kurikulum baru. Bagaimana tidak, untuk anak yang baru mengenal sekolah formal di tingkat dasar, ternyata diberikan begitu banyakmateri pelajaran. Total ada sepuluh mata pelajaran yang akan dipelajari murid kelas satu SD di sekolah. Pelajaran tersebut adalah: Matematika, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Ilmu Pengetahuan Alam, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya, Bahasa Daerah dan Bahasa Inggris.
[caption id="attachment_350635" align="aligncenter" width="551" caption="Mata pelajaran kelas satu SD Negeri tempat anak penulis bersekolah. Total ada 11 mata pelajaran."][/caption]
Bayangkan saja, murid kelas satu SD yang baru saja mengenal sekolah formal, yang sebagian besarnya belum bisa membaca, menulis dan berhitung, dalam satu minggu harus menerima pelajaran sebanyak itu. Luar biasa bukan? Mengenal huruf dalam bahasa Indonesia saja belum bisa, bagaimana mereka akan belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Daerah yang pengucapan bahkan bentuk hurufnya saja sangat berbeda? Tentu saja hal ini akan sangat berpotensi membuat jenuh dan stress anak-anak yang baru saja mengenal sekolah formal. Penulis sangat mengkhawatirkan sang anak yang akan kelelahan dengan banyaknya pelajaran tersebut. Meskipun anak penulis sudah terbiasa membaca dan berhitung, namun hal tersebut dicapai bukan dengan jadwal dan program terstruktur layaknya di sekolah. Anak-anak penulis belajar dalam suasana yang menyenangkan di rumah, yang disisipi dalam aneka permainan.
Anak-anak terpacu untuk membaca karena mereka tertarik dengan buku favorit masing-masing yang penuh warna dan gambar. Mereka bebas memilih bukunya yang diinginkan setiap kali diajak ke toko buku gramedia. Selain itu, selaku orangtua berusaha memberikan contoh dengan membaca buku setiap hari, juga membacakan buku cerita untuk anak-anak. Rumah dikondisikan agar anak-anak lebih memilih bermain yang disisipi hal-hal edukatif yang melatih imajinasi, kerjasama, saling berbagi dan tolong menolong dibandingkan menonton televisi atau bermain game pada gadget. Waktu menonton televisi dibatasi maksimal 2 jam setiap hari, juga dijatah untuk bergantian memainkan gadget android yang diisi permainan edukatif yang menyenangkan. Orang tua pun harus memberikan contoh dengan menonton acara televisi yang bermanfaat, tidak ada sinetron, gosip dan film-film berbau dewasa.
Mencermati banyaknya pelajaran yang diberikan pihak sekolah untuk anak kelas satu SD, hal ini kembali mengulangi apa yang pernah dialami anak pertama penulis yang bersekolah di institusi pendidikan swasta berbasis agama. Anak-anak harus membawa tas relatif besar dan berat karena berisi aneka buku. Terlihat kelelahan di wajah mereka saat di rumah, terlebih lagi harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru. Ternyata tidak ada bedanya antara sekolah swasta dan negeri. Keduanya masih sama-sama bermindset memberi pelajaran yang banyak, sekalipun untuk anak-anak yang baru merasakan sekolah formal di kelas satu atau tingkat pertama sekolah dasar.
Hal ini sangat jauh berbeda dengan pengalaman penulis bersekolah di kelas satu SD sekitar tahun 80-an. Saat itu hanya ada lima kegiatan di sekolah, yaitu belajar membaca, belajar berhitung, agama, menyanyi dan olahraga di lapangan sekolah. Semuanya menyenangkan dan masih terkenang hingga setua ini. Bahkan setelah enam bulan bersekolah, penulis masih belum bisa membaca, menulis dan berhitung sesuai yang diharapkan guru-guru di sekolah. Guru-guru hanya memberikan catatan di rapor agar orang tua turut aktif untuk memberi motivasi dan mengajak belajar saat berada di rumah.
Penulis jadi teringat beberapa artikel di kompasiana yang mengulas pengalaman para kompasianer yang tinggal di luar negeri khususnya di Jepang. Mereka menceritakan bagaimana anak-anak tingkat sekolah dasar tidak dibebani dengan banyak aneka pelajaran. Yang dipentingkan adalah pembentukan karakter sang anak, bagaimana bersikap dalam kehidupan baik di sekolah, di rumah ataupun terhadap lingkungan. Pendidikan lebih difokuskan dengan mengakomodasi imajinasi dan kreativitas sang anak, bagaimana mau berusaha dan bekerja sama dengan temannya. Hal seperti ini juga pernah diuraikan oleh Rhenal Kasali dalam artikelnya yang banyak dishare di Facebook, bagaimana sang guru memberi nilai yang tinggi pada anaknya walau secara penguasaan tidaklah begitu bagus, namun yang dinilai tinggi adalah usaha dan motivasi sang anak, agar tetap bersemangat dalam belajar.
Ah, membandingkannya dengan tempat anak-anak penulis bersekolah terasa jauh sekali perbedaannya. Penulis merasa sekolah-sekolah tersebut baru sebatas memberikan pelajaran, belum sampai pada tahap mendidik. Oleh karena itulah, penulis dan istri merasa perlu untuk turun tangan langsung dalam mengarahkan anak-anak agar memiliki karakter dan budi pekerti yang tampaknya tidak bisa terlalu diharapkan didapatkan dari sekolah formal, setidaknya untuk saat ini.
Pemerintahan terus berganti, menteri pendikan dan pejabat-pejabat terkait pendidikan juga demikian, kurikulum pun beberapa kali telah berubah, namun tampaknya institusi sekolah termasuk guru-gurunya masih banyak yang belum berubah mindsetnya dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak. Sekolah tampaknya masih sekadar melaksanakan tugasnya as business as usual. Guru-guru pun sepertinya mengajar lebih dikarenakan tuntutan untuk mencari nafkah. Apa boleh buat, beginilah situasi yang masih terjadi. Mau tidak mau orang tua memang harus tetap berusaha agar anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik di rumah, langsung dengan arahan dan teladan dari kedua orang tua. Apalagi hal tersebut memang salah satu tugas dan kewajiban orang tua sebagai bentuk pertanggungjawaban, karena telah diberikan anak-anak yang merupakan amanah dari sang Maha Pencipta. Selain itu, hal ini juga menyenangkan karena merupakan bentuk dari rasa syukur telah diberikan anugrah berupa anak-anak yang membuat kehidupan menjadi lebih berwarna dan bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H