Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ramadhan, Bulan Ibadah Bukan Bulan Belanja

19 Juli 2014   16:32 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:53 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bulan Ramadhan adalah bulan suci bagi umat muslim. Di bulan penuh kebaikan ini adalah waktu yang tepat untuk memperbanyak ibadah dan menebar kebaikan, karena ganjarannya adalah pahala yang berlipat ganda. Di bulan Ramadhan, pada siang harinya, dari shubuh hingga magrib, umat Islam diperintahkan berpuasa, menahan rasa lapar dan mengendalikan hawa napsu. Satu bulan penuh umat muslim berpuasa di siang hari. Makan dan minum hanya diperbolehkan dalam jangka waktu yang terbatas. Di Indonesia waktu diperbolehkan makan dan minum dalam bulan puasa adalah kurang lebih sekitar 11 jam. Selebihnya yaitu sekitar 13 jam diwajibkan berpuasa.

Sebelum bulan puasa, setiap hari makan dan minum dilakukan minimal tiga kali sehari yaitu makan pagi, makan siang dan makan malam dengan jeda waktu yang relatif lama. Selain itu aktivitas makan dan minum juga kerap dilakukan di berbagai kesempatan di sela-sela jam waktu makan. Ada yang terbiasa ngemil makanan ringan sambil minum teh, kopi dan minuman lainnya. Belum lagi dalam kegiatan-kegiatan tertentu baik formal maupun non formal (seperti rapat, kedatangan tamu dan lainnya), yang dilaksanakan dalam rentang waktu dari pagi hingga sore hari, biasanya selalu tersedia dan disajikan aneka makanan dan minuman.

Dalam bulan Ramadhan, otomatis hal-hal tersebut diatas akan jauh berkurang. Meskipun waktu makan tetap bisa dilakukan tiga kali (saat sahur sebelum shubuh, buka puasa di waktu magrib, dan makan/minum setelah sholat isya/tarawih), namun jarak waktu yang berdekatan membuat kuantitas makanan/minuman yang dikonsumsi menjadi terbatas. Bila dalam waktu yang terbatas tetap makan dan minum dengan frekuensi yang sering dan kuantitas yang banyak, maka akan berdampak kurang baik bagi kesehatan. Informasi dari para ahli kesehatan yang mengulas masalah ini sangat banyak dan bisa didapatkan di berbagai media baik di televisi, radio, koran, majalah hingga di dunia internet.

Dengan waktu makan dan minum yang terbatas dan frekuensi konsumsi yang berkurang, secara logika hal ini seharusnya berefek pada berkurangnya pengeluaran/biaya untuk keperluan makanan dan minuman selama bulan puasa. Namun fakta yang terjadi ternyata tidaklah demikan. Media banyak memberitakan tentang meningkatnya konsumsi masyarakat, terlebih lagi menjelang berakhirnya ramadhan terkait penyambutan Hari Idul Fitri. Meningkatnya konsumsi masyarakat yang luar biasa tersebut, berdampak pada terjadinya kenaikan harga dan berimplikasi langsung dengan naiknya tingkat inflasi. Kenaikan harga yang terjadi selama Ramadhan memerlukan beberapa waktu hingga setengah bulan baru bisa kembali ke titik normal.Inflasi yang meningkat berarti berkurangnya nilai uang yang dimiliki, jelas sangat merugikan masyarakat sendiri bahkan perekonomian Indonesia secara makro. Fenomena ini sepertinya telah menjadi hal rutin setiap tahun di Indonesia, meskipun menjadi momok namun seolah tidak menjadi perhatian oleh masyarakat Indonesia khususnya umat Islam.

Sejatinya, meningkatnya tingkat konsumsi di bulan Ramadhan seharusnya tidak perlu terjadi. Semangat Ramadhan adalah semangat meningkatkan ibadah, berlatih menahan diri (dari berbagai nafsu dan keinginan berlebihan) dan hidup sederhana. Dalam Ramadhan, yang diharapkan meningkat adalah ibadah dan kebaikan baik secara kuantitas maupun kualitas, bukannya malah tingkat konsumsi makanan, minuman atau pola hidup konsumerisme. Ramadhan memaksa mereka yang hidupnya berkecukupan sehingga tidak pernah kelaparan, merasakan lapar dan haus seperti banyak kalangan miskin dan tidak mampu yang merasakannya setiap hari. Hal ini diharapkan menumbuhkan sikap empati dan mau berbagi, sehingga bisa relatif mengendalikan diri dari sikap pamer dan berlebih-lebihan. Ramadhan juga melatih kita untuk makan secukupnya, karena sebanyak apapun aneka makanan/minuman yang dihidangkan ataupun disimpan, tetap saja kemampuan untuk menikmatinya terbatas, baik karena kendala waktu maupun faktor kesehatan.

Sebagaimana banyak dikisahkan baik dalam literatur ataupun perantara nasehat para ulama, ustads dan orang-orang yang dianggap mumpuni ilmu agamanya, Rasulullah mengajarkan umat muslim untuk mengatur dan mengendalikan pola konsumsinya. “Makanlah setelah lapar, berhentilah makan sebelum kenyang”, demikianlah yang diajarkan Muhammad SAW. Saat Ramadhan pun Rasulullah mencontohkan pola konsumsi dengan mengakhirkan waktu makan sahur dan berbuka puasa hanya dengan dengan kurma dan air putih secukupnya. Mengakhirkan waktu makan sahur selain agar makanan lebih optimal dimanfaatkan tubuh selama berpuasa, tentunya dimaksudkan agar tidak makan terlalu banyak. Bagaimana bisa mengakhirkan waktu sahur bila banyak makanan yang harus dimakan? Saat berbuka pun Rasulullah mengajarkan untuk berbuka dengan sederhana, bukannya dengan beraneka ragam hidangan dan dalam jumlah yang banyak.

Mungkin, yang menyebabkan peningkatan drastis pola konsumsi sehingga menyebabkan terjadinya inflasi yang tinggi di bulan Ramadhan adalah karena kita sebagai umat Islam relatif gagal menghayati dan melaksanakan apa yang diinginkan Allah SWT terkait diberikannya bulan yang mulia tersebut kepada umat muslim. Mungkin juga, kita tidah tahu atau tidak mau mencontoh bagaimana perilaku dan pola konsumsi Rasulullah, para sahabat dan orang-orang shaleh baik di kehidupan sehar-hari, terutama saat Ramadhan.

Meskipun kurang baik dan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah, banyak keluarga muslim yang menyajikan aneka makanan yang lebih banyak dari biasanya bahkan kadangkala berlebihan. Hal ini jelas menyebabkan naiknya tingkat permintaan terhadap bahan makanan. Pemerintah serta berbagai pihak yang berwenang dan berkepentingan berusaha memenuhi permintaan masyarakat yang melonjak. Produsen pun memproduksi lebih banyak, bahkan melakukan banyak impor barang yang akan mempengaruhi neraca perdagangan Indonesia. Hal ini dilakukan agar suplai barang dapat memenuhi semua permintaan sehingga tidak harus/perlu terjadi kenaikan harga yang cukup tinggi. Namun sepertinya apa yang sudah dilakukan tersebut belum berhasil mengimbangi tingginya permintaan akibat konsumsi yang meningkat drastis di bulan Ramadhan.

Meningkatnya harga-harga di bulan Ramadhan tentu tidak akan banyak berpengaruh bagi golongan masyarakat yang mampu. Masyarakat mampu tetap bisa membeli apa yang diinginkan sebanyak apa yang dimau, setinggi apapun keinginannya. Namun hal sebaliknya justru terjadi pada masyarakat golongan ekonomi lemah apalagi masyarakat miskin. Masyarakat miskin akan makin terpuruk karena tidak memiliki uang ataupun penghasilan yang memadai walaupun sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti bahan makanan. Adanya zakat fitrah diakhir Ramadhan mungkin bisa relatif membantu kaum miskin, namun hanya untuk beberapa hari saja. Hal ini belum mencukupi hingga beberapa hari selanjutnya, dimana menurut Bank Indonesia harga-harga barang khususnya bahan makanan akan tetap tinggi hingga jangka waktu setengah bulan setelah Idul Fitri. Setelah setengah bulan, harga-harga baru akan kembali mencapai titik normal.

Jadi, kalaulah boleh penulis menyimpulkan secara sederhana, ternyata datangnya Ramadhan bukan hanya membawa kabar gembira bagi umat Islam karena banyaknya keistimewaan dan keutamaan. Namun juga bisa jadi membawa dampak berupa kesulitan ekonomi bagi masyarakat golongan ekonomi lemah khususnya masyarakat miskin, baik yang beragama Islam maupun bukan Islam. Hal ini dikarenakan dalam bulan Ramadhan harga-harga akan melonjak drastis karena meningkatnya tingkat permintaan khususnya terhadap bahan makanan yang berakibat langsung pada tingginya inflasi di Indonesia. Hal tersebut terjadi jelas bukan karena kesalahan Ramadhan. Akan tetapi karena kita, umat Islam yang menyambut datangnya Ramadhan bukan dengan sikap yang mulia seperti yang seharusnya. Sikap mulia seperti yang diperintahkan Allah SWT dalam Al-Quran, sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabat dan orang-orang sholeh, yaitu: fokus untuk memperbanyak ibadah dan kebaikan, bukannya bersemangat memenuhi keinginan nafsu pada berbagai aneka makanan dan keperluan duniawi.

Ramadhan perbanyak ibadah, bukan memperbanyak belanja

Ramadhan penuhi kebaikan, bukan mengerumuni pusat perbelanjaan

Ramadhan berlatih menahan diri, bukan menuruti keinginan duniawi

Ramadhan adalah bulan suci, bukan bulan konsumsi

Wallahu a’lam. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun