Mereka yang secara kasat mata rajin beribadah dan berpenampilan sholeh, tentulah dianggap adalah orang-orang yang baik dan jujur. Orang-orang yang rajin beribadah tersebut biasanya memiliki pemahaman yang relatif tinggi dan mendalam terkait ajaran agamanya. Hal ini terkonfirmasi dengan banyaknya kisah-kisah orang-orang yang sholeh dan rajin beribadah, juga mengutamakan kejujuran dalam keseharian dan tindak-tanduknya.
Sekitar lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saya masih sering bertemu orang-orang yang demikian menginspirasi. Mereka tidak hanya rajin beribadah, namun tindak-tanduknya juga berusaha menjalankan kejujuran. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, makin jarang bertemu orang-orang yang demikian. Yang makin banyak justru bertemu orang-orang yang memperlihatkan paradoks secara vulgar. Dari sisi penampilan dan perkataan terlihat sholeh dan kesehariannya rajin beribadah, namun tidak sungkan melakukan hal-hal yang tidak jujur.
Suatu waktu di sebuah kantor, saya pernah punya atasan (Mr. A) yang luar biasa rajin sholat berjamaah bahkan sering menjadi Imam Sholat di Musholla kantor. Setiap datang waktu sholat, terdengar azan berkumandang, Mr. A segera berubah. Dari sebelumnya berpakaian formal layaknya bekerja di kantor, berganti menggunakan sarung, baju koko, bertopi haji dan sorban di pundaknya. Mr. A termasuk yang selalu paling dulu hadir di tempat sholat pada shaff terdepan. Sebelum iqomah melaksanakan sholat sunnah dan terlihat berzikir sesudahnya, menunggu iqamah sebagai tanda sholat berjamaah akan segera di mulai. Tentu saja banyak hadirin yang mempersilahkan Mr. A untuk maju menjadi Imam Sholat.
Sayangnya hal tersebut tidak didukung oleh tindak tanduknya yang berusaha jujur dalam melaksanakan pekerjaan dan sebagai seorang pimpinan. Mr. A mematok “tarif” dalam jumlah tertentu kepada mereka yang akan berurusan dalam kewenangannya sebagai pegawai pemerintah. Mr. A juga tidak menyuruh bawahannya untuk menghindari gratifikasi, malah menganjurkan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya untuk kemudian pada waktu-waktu tertentu dilakukan pembagian “sisa hasil usaha”.
Salah satu pengalaman yang membuat saya takjub luar biasa adalah tatkala baru pindah ke sebuah kantor. Di kantor yang baru, saya bertemu rekan baru (Mr.B) yang juga baru pindah ke kantor yang sama. Secara penampilan, saya sudah menduga bahwa Mr. B adalah orang yang baik pemahaman agamanya. Mr. B selalu mengenakan celana “cingkrang” (celana yang tidak melewati mata kaki), jidatnya hitam layaknya orang-orang yang rajin sholat/sujud, selalu sholat tepat waktu dan berusaha untuk selalu sholat berjamaah di masjid.
Sebagai kantor yang telah melaksanakan reformasi birokrasi, tentulah telah menggunakan daftar hadir dengan sistem elektronik yang merekam/mencatat sidik jari pegawai. Saat hendak merekam sidik jari pertama kalinya di mesih hand key, muncul keterkejutan saya yang luar biasa. Ternyata Mr.B mengajak untuk bertukar sidik jari saat perekaman data sidik jari yang kedua dan ketiga. Ia mengatakan bahwa hal tersebut untuk berjaga-jaga jika suatu saat terlambat, ingin pulang lebih cepat atau bahkan tidak masuk kantor, namun kehadiran tetap tercatat karena ada teman/rekan yang akan mewakili untuk menyetorkan sidik jarinya. Dengan demikian tidak akan pernah terjadi pemotongan tunjangan sebagai sanksi karena terlambat, pulang sebelum waktunya atau bahkan tidak hadir di kantor.
Mr. B menjelaskan dengan gamblang seolah dia sudah biasa melakukan hal tersebut. Saya sendiri baru tahu adanya trik tersebut dari penjelasan Mr.B. Terlihat Mr. B begitu bangga memberikan penjelasan tersebut kepada orang lain, padahal jelas-jelas merupakan perbuatan yang tidak jujur.
Saat Mr. B telah menyetorkan sidik jari awal yang pertama dengan tangan kanannya, dia meminta saya untuk menyetorkan sidik jari tangan kiri menggantikan sidik jarinya yang kedua. Saya kembali terperanjat, tak menyangka dia akan meminta saya untuk menjadi salah satu orang yang diajak bekerja sama untuk mengakali mesin handkey. Secara pribadi hal ini jelas akan menguntungkan saya, karena Mr. B akan mewakili saya untuk handkey bila suatu waktu saya terlambat, pulang sebelum waktunya atau bahkan tidak perlu masuk kantor. Tunjangan saya jelas tidak akan pernah berkurang. Apalagi selama bekerja, saya cukup sering terlambat datang ke kantor baik karena kesalahan sendiri atau karena hal-hal yang di luar kendali.
Saat Mr. B kembali meminta saya, entah kenapa kedua kaki saya malah refleks mundur ke belakang dan kedua tangan bersilang. Saya hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Saya tidak bisa mengeluarkan kata-kata penolakan, mungkin karena masih terjadi pertentangan di dalam hati dan kepala. Namun sikap yang ditunjukkan tubuh saya sudah cukup memberi penolakan atas ajakan pada Mr.B. Namun Mr.B tidak berhenti begitu saja. Dia kembali meminta orang lain untuk bertukar sidik jari. Mr.B tidak terlihat sungkan walaupun ada orang-orang lain disekitarnya. Orang lain yang diminta, sekilas memandang saya, lalu menolak permintaan Mr.B. Akhirnya Mr.B melanjutkan perekaman sidik jarinya yang kedua dan ketiga menggunakan kedua tangannya sendiri.
Ah, mungkin ini memang tanda-tanda akhir jaman yang sering saya baca dari literatur agama. Salah satu tandanya adalah makin banyak orang-orang yang tidak malu dan terang-terangan mengajak untuk melakukan perbuatan yang tidak baik dan tidak jujur. Apa benar saat ini memang sudah makin mendekati hari penghabisan tersebut? Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H