Hari Minggu sekitar jam 4 sore, dari stasiun Juanda Jakarta saya naik commuter line jurusan bekasi. Seperti biasa saya selalu berdiri. Hal ini memang karena tidak kebagian kursi yang memang sangat terbatas. Walaupun begitu, saya bertekad tidak akan menempati kursi yang ditinggalkan penumpang yang turun selama masih ada yang lebih berhak seperti manula, ibu-ibu ataupun wanita.
Saya berdiri bersandar pada dinding pertengahan antara dua gerbong sehingga bisa melihat isi dan aktivitas di kedua gerbong tersebut. Tampak orang tua manula, Ibu yang membawa anak kecil dan juga wanita yang berdiri tak kebagian kursi. Penumpang yang telah duduk nyaman mendapatkan kursi tampak tak peduli. Mereka asyik dengan dunianya. Ada yang saling mengobrol sesama temannya, memencet ataupun memperhatikan gadget dengan hansdfree yang terhubung ke telinga, ada juga yang tampak tidur.
Kemudian saya perhatikan tempat duduk prioritas. Kebetulan ada empat di dekat tempat saya berdiri, dua di masing-masing gerbong. Tempat duduk prioritas kira-kira bisa ditempati 3 orang dewasa. Sesuai dengan pengumuman dan yang ditempel di dinding dekat kursi prioritas, tempat duduk tersebut diperuntukkan bagi manula, ibu yang membawa balita, ibu hamil dan penyandang disabilitas.
Satu tempat duduk prioritas telah terisi mereka yang berhak sesuai peruntukannya. Tiga lainnya tampak ditempati oleh sebuah keluarga yaitu Ayah, Ibu dan anak. Satu tempat duduk prioritas diduduki oleh keluarga yang berpenampilan muslim taat, yang wanita bercadar dan laki-lakinya mengenakan semacam baju koko-celana cingkrang beserta seorang anak perempuan yang cukup besar sekitar kelas tiga SD. Tempat duduk prioritas yang kedua ditempati sebuah keluarga yang juga terlihat muslim yang taat, hanya yang wanita berjilbab panjang tidak bercadar, mereka membawa satu anak balita. Tempat duduk prioritas yang ketiga ditempati oleh keluarga biasa dalam arti tidak berpenampilan seperti yang menempati dua tempat duduk prioritas lainnya yang berjilbab, berbaju koko, jidat hitam dan celana cingkrang. Mereka membawa dua anak.
Bila keluarga yang menempati kursi prioritas itu perduli dan mau, mereka dapat menyisihkan dua kursi prioritas untuk orang-orang yang lebih berhak di sekitarnya. Sang laki-laki dewasa atau ayah dapat berdiri dan sang anak dipangku sang Ibu yang duduk. Yang membawa dua anak, dapat memberikan satu kursi prioritas bagi yang memang berhak. Dengan demikian manula, wanita dan mereka yang membawa balita dapat dipersilahkan duduk di kursi prioritas tersebut. Selain itu, dengan bersikap demikian, masing-masing keluarga tersebut terutama sang ayah, telah memberikan pelajaran berharga dan mendidik buah hatinya untuk berbuat mulia, berkorban bagi orang lain yang membutuhkan, memberikan sesuatu pada mereka yang berhak. Sang ayah tentu akan menjadi panutan bahkan kebanggaan sang anak karena telah bersikap ksatria dan pahlawan.
Pemandangan seperti ini sudah lumrah di dalam commuter line jurusan Bekasi-Jakarta. Jangankan sebuah keluarga yang membawa anak, bahkan orang-orang muda pun seringkali cuek duduk di kursi prioritas walaupun di sekitar bahkan di depannya ada yang lebih berhak. Kadangkala harus di tegur satpam (bila ada) baru mau memberikan kursi prioritas tersebut. Apalagi yang membawa anak, mereka mempunyai pembenaran untuk menduduki kursi prioritas, termasuk sang ayah yang seharusnya tahu diri bahwa ia tidak berhak untuk menempatinya. Sang ayah seharusnya mau berdiri dan mempersilahkan orang lain yang lebih berhak untuk duduk di kursi prioritas tersebut. Sayang sekali momen yang berharga untuk mengajarkan anak perbuatan mulia dilewatkan begitu saja demi kenyamanan lebih kurang satu jam dalam commuter line.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H