Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 terkait penertiban alat peraga kampanye oleh peserta pemilu, maka kontestan pemilu yaitu partai politik dan caleg-calegnya berkewajiban membersihkan alat peraga kampanye khususnya dalam masa tenang sehingga tanggal 9 April nanti tidak ada lagi alat peraga kampanye. Itu artinya, parpol dan caleg bertanggungjawab untuk membersihkan berbagai atribut kampanye yang telah disebarkannya di lingkungan masyarakat, di dinding tembok kantor/rumah, di taman-taman, di tiang listrik, di pohon, di mobil dan angkutan kota, serta di berbagai tempat lainnya.
Tapi apa lacur? Aturan hanyalah barisan-barisan kalimat tanpa makna sehingga parpol dan caleg merasa tidak bersalah bila tidak mematuhinya. Kalaupun ada parpol dan caleg yang membersihkan atribut kampanyenya, namun hal tersebut sangat langka. Itu pun dalam membersihkannya dijamin tidak akan bersih sebagaimana sewaktu mereka belum menyebarkan dan menempelkan berbagai atribut kampanye di berbagai tempat dan disembarang tempat. Dari sini terlihat, bahwa parpol dan caleg-calegnya telah nyata gagal dalam ujian tanggung jawab pertamanya, yaitu membersihkan atribut kampanyenya. Patut dipertanyakan bagaimana kelak mereka akan bertanggungjawab pada hal-hal lain yang lebih besar yang menyangkut nasib jutaan rakyat Indonesia???
Atribut-atribut kampanye yang masih berserakan dan mengotori berbagai tempat, juga menunjukkan betapa parpol dan caleg-calegnya yang tidak bertanggungjawab, juga diikuti oleh para partisan dan simpatisannya. Mereka yang merasa aspirasinya terwakili oleh suatu parpol atau seorang caleg, seharusnya juga merasa bertanggungjawab untuk membersihkan atribut-atribut kampanye partai politik atau caleg idolanya. Andaikan Tuan X mengidolakan parpol Primata dengan si Monyet sebagai calegnya, seharusnya Tuan X juga ikut bertanggungjawab untuk membersihkan atribut parpol Primata dan caleg monyet yang didukungnya tersebut. Namun sayangnya hal ini ternyata tidak terjadi. Hampir pasti semua pendukung parpol/caleg tidak berbuat apa-apa untuk membersihkan atribut kampanye. Mereka tidak mau bertanggungjawab, semua diserahkan pada pihak lain seperti bawaslu dan aparat kebersihan.
Demokrasi kita rupanya belum sampai pada demokrasi berdasarkan kesadaran dan kecerdasan, sehingga hanya tertarik dengan rame-ramean, debat-debatan, menyalahkan orang lain, namun tanpa diikuti tanggung jawab. Yang punya partai/caleg idola, mati-matian membelanya sehingga kadangkala tak merasa bersalah bila merugikan orang lain. Tatkala ada kewajiban membersihkan semua sampah yang merupakan atribut kampanye, mereka mendadak diam dan tak mendengar, kontras sekali dengan keributan dan keriuhan saat mempromosikan parpol dan caleg-calegnya.
Partai politik dan caleg yang tidak bertanggunjawab memang sangat pas didukung oleh simpatisan dan partisan yang sikapnya sama, yaitu sama-sama tidak memiilliki kepedulian dan tanggung jawab. Jangan dulu memikirkan bagaimana tanggung jawab yang besar-besar bila kelak mereka akan menang atau terpilih. Tanggung jawab yang pertama dan mudah saja, yaitu membersihkan sampah dari atribut kampanye, mereka tidak sudi.
Mungkin memang benar, demokrasi mencerminkan rakyat suatu negara. Parpol dan caleg-caleg yang tidak beres adalah representasi masyarakat yang memang tidak menginginkan adanya keberesan. Mereka cukup merasa puas hanya sampai pada teriakan-teriakan kampanye demi eksistensi diri walau sangat miskin substansi dan implementasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H