Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Money

Hari Batik Nasional di Indonesia, Keuntungannya di Negara Lain

6 Oktober 2013   20:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:54 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Masyarakat Indonesia kini berhak banga karena sejak empat tahun lalu, pada 2 Oktober 2009, Batik resmi diakui oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi milik Indonesia. Sejak itu, batik mulai familiar di berbagai kalangan, baik tua, muda, maupun anak-anak. Industri batik nasional pun kian menggeliat. Batik, benar-benar mencerminkan puspawarna Keindonesiaan. Tak hanya itu, secara formalistik, tak sedikit instansi negara dan swasta mewajibkan karyawan menggunakan batik di hari-hari tertentu. (Topik Pilihan Kompasiana, 2 Oktober 2013)

Demikian kutipan dalam pengantar dari Admin Kompasiana agar para kompasianer membuat tulisan yang membahas tentang Batik Indonesia.

Namun sayang, pada kenyataannya batik Indonesia belum bisa bersaing dengan batik buatan dari luar negeri khususnya dari negara Cina dan Thailand. Walapun secara kualitas batik buatan Indonesia lebih baik, namun dari segi harga batik Indonesia kalah bersaing dengan buatan dari luar negeri terutama Thailand dan Cina. Hal ini diakui sendiri oleh Menteri Perdagangan Gita Wiryawan saat melakukan kunjungan ke Pasar Tanah Abang (sumber). Baju batik yang dijual murah di pasar-pasar rakyat/tradisional di Indonesia kebanyakan berbahan baku kain batik impor dari luar negeri khususnya Cina dan Thailand. Pakaian batik dengan kain batik produksi asli Indonesia masih sangat terbatas di kalangan tertentu khususnya pada kalangan ekonomi atas dikarenakan harganya yang lebih mahal.

BPS menginformasikan bahwa dalam tahun 2012, Indonesia mengimpor batik dari China sebanyak 1.037 ton bernilai US$ 30juta (sekitar Rp285 miliar). Sebagian besar adalah batik printing (cetakan mesin). Batik asal China harganya jauh lebih murah dengan selisih harga mencapai Rp 20–30 ribu per helai dibandingkan batik lokal. Misalnya batik cap berbahan katun di pasar tanah Abang, batik China dibandrol dengan harga Rp70ribu per helai sedangkan batik sejenis buatan Pekalongan Jawa Tengah dijual lebih mahal dengan harga Rp 100 ribu per helai (sumber). Murahnya harga batik dari luar negeri ini dikarenakan pemerintah negara tersebut seperti Cina dan Thailand melakukan proteksi terhadap industri batik di negara masing-masing sehingga harga jualnya di luar negeri menjadi lebih murah, selain itu bisa jadi juga karena masih maraknya penyelundupan kain batik dari luar negeri. Masyarakat Indonesia khususnya yang berasal dari ekonomi menengah kebawah yang jumlahnya mayoritas, lebih mementingkan harga yang murah tanpa peduli asal muasal bahan kain batik tersebut apakah asli dari Indonesia ataukah impor dari luar negeri.

Sampai saat ini, sepertinya pemerintah Indonesia belum bisa memberikan perlindungan dan pendampingan yang memadai untuk produsen batik khususnya dikalangan usaha kecil dan menengah, agar bisa menghasilkan kain batik dengan harga yang lebih murah agar bisa bersaing dengan produk impor dari luar negeri. Usaha yang paling sering dilakukan sepertinya adalah himbauan, sosialisasi dan seremonial seperti menetapkan hari batik nasional setiap tahunnya pada tanggal 2 Oktober. Bisa jadi secara kasat mata tampak diberbagai tempat di Indonesia sangat banyak masyarakat yang mengenakan pakaian batik dalam aktivitasnya sehari-hari terutama di kantor-kantor instansi pemerintah dan banyaknya even-even untuk menggalakkan batik Indonesia di masyarakat dan dunia internasional.

Namun ironisnya, keuntungan dari berbagai usaha untuk menggalakkan pemakaian batik tersebut ternyata lebih besar dinikmati oleh negara lain yang bisa meraup jutaan dollar dengan mengekspor kain batik ke luar negeri termasuk ke Indonesia. Hal ini tentu saja akan menghidupkan industri pembuatan benang/bahan pakaian dan menciptakan lapangan pekerjaan untuk memenuhi antusias memakai batik oleh masyarakat internasional pada umumnya dan khususnya masyarakat Indonesia. Indonesia sebagai negeri asalnya batik, belum mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, bahkan menjadi konsumen kain batik dari negara lain. Jadi bisa dikatakan bahwa, makin gencarnya sosialisasi batik di Indonesia termasuk dengan perayaan hari Batik Nasional, maka keuntungan pun makin besar diterima oleh negara-negara lain yang mengekspor kain batiknya ke Indonesia dan dunia, seperti Cina, Thailand dan negara-negara lainnya.

Mari merenungkan kembali Hari Batik Nasional Indonesia, cukupkah hanya dengan seremonial tanpa aksi nyata dari masyarakat dan pemerintah? Setidaknya kita dapat berusaha tetap menggunakan batik produksi dalam negeri meskipun lebih mahal dari batik Cina. Bagaimana dengan aksi nyata dari pemerintah? Wallahu a'lam. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun