Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gelar/Pendidikan Tinggi vs Kualitas dan Manfaat

1 Oktober 2014   07:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:50 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jaman sekarang ini, pendidikan (termasuk gelar) seolah menjadi suatu hal yang wajib bahkan kebutuhan. Mereka yang memiliki pendidikan tinggi dan gelar-gelar berderet, kemungkinan besar akan mendapatkan peluang dan kesempatan lebih besar dibandingkan yang berpendidikan lebih rendah, apalagi yang tanpa pendidikan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, di jaman sekarang ini pendidikan seringkali disebut atau digolongkan sebagai sebuah aktivitas investasi.

Meskipun pendidikan sangatlah penting dalam menentukan kesuksesan seseorang, namun hal tersebut bukanlah jaminan. Apalagi bila pendidikan yang telah dilalui tidak memberikan nilai tambah atau meningkatkan kualitas SDM itu sendiri. Apakah pendidikan yang telah dilalui, apalagi pendidikan di jenjang yang lebih tinggi bisa tidak memberikan nilai tambah atau meningkatkan kualitas SDM? Bisa jadi demikian. Apalagi cukup banyak fenomena yang terjadi, dimana mereka yang berpendidikan tinggi malah dalam kesehariannya tidak mencerminkan atau bersikap sebagai orang yang berpendidikan tinggi. Ada lulusan strata dua dari perguruan tinggi negeri terkenal di negeri ini yang minta disuntik mati karenafrustasi tidak mendapat pekerjaann. Ada juga kandidat doktor yang membuat geger karena menyebut sesosok manusia sebagai titisan Allah. Masih banyak lagi contoh-contoh yang seolah tidak menunjukkan adanya sinkronisasi antara pendidikan tinggi dengan kualitas pribadi yang bersangkutan.

Selain itu, kerap kali banyak yang berpendapat bahwa pendidikan di luar negeri lebih baik dari Indonesia. Akibatnya berbondong-bondong masyarakat Indonesia kuliah di luar negeri. Ada yang dengan biaya sendiri, ada juga dengan lantaran mendapatkan beasiswa. Mungkin ada benarnya bahwa pendidikan di luar negeri terutama di negara-negara maju lebih berkualitas dari Indonesia. Namun demikian, apakah menjamin mereka yang menempuh pendidikan dan mendapatkan gelar di negara-negara tersebut, akan menjadi berkualitas saat kembali ke Indonesia?

Secara umum bisa dikatakan bahwa orang-orang Indonesia yang kuliah di luar negeri adalah SDM yang hebat. Di luar negeri pun mereka bisa bersaing dengan SDM di negara tersebut untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi bahkan banyak yang menonjol. Indonesia memiliki banyak legenda terkait hal ini, salah satu legenda hidupnya adalah B.J. Habibie. Namun demikian, ada saja anomali yang bisa terjadi, dimana mereka yang kuliah di luar negeri ternyata tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pribadi yang bersangkutan, baik dalam cara berpikir, bersikap dan bermasyarakat. Hal seperti ini sepertinya tidak banyak terjadi, namun menjadi fenomena yang cukup menarik. Fenomena tersebut sebagaimana yang diceritakan seorang dosen saat penulis masih kuliah.

Tempat kuliah penulis adalah sekolah kedinasan setingkat strata satu. Kebetulan penulis beruntung bisa lulus ujian untuk melanjutkan pendidikan lebih tinggi tanpa biaya. Sebelumnya penulis hanyalah lulusan Diploma III. Dosen-dosen yang menjadi pengajar adalah para master dan doktor lulusan universitas dari negara-negara maju, selain itu mereka adalah praktisi yang sangat ahli di bidangnya. Salah seorang dosen menceritakan pengalamannya saat menempuh pendidikan di sebuah negara maju berkat mendapatkan beasiswa.

Saat kuliah di luar negeri, cukup banyak orang Indonesia. Dosen tersebut membagi mereka ke dalam dua kelompok besar, yaitu pertama, mereka yang lebih banyak atau hanya bergaul dengan sesama orang Indonesia dan kedua, mereka yang lebih banyak bergaul dengan bukan orang Indonesia. Kebetulan dosen saya adalah kelompok yang kedua. Menurutnya, untuk apa jauh-jauh sekolah ke luar negeri jika dalam pergaulan sehari-harinya lebih banyak dengan orang Indonesia juga dibandingkan orang-orang luar negeri. Jadilah beliau memilih tinggal di tempat yang tidak ada orang Indonesianya, mengunjungi perpustakaan dan tempat-tempat belajar dimana bisa lebih intens berinteraksi lebih banyak dengan orang yang bukan senegaranya.

Apa yang dilakukan dosen tersebut sangat jauh berbeda dengan teman-temannya yang justru melakukan sebaliknya. Lebih banyak menghabiskan waktu dan berinteraksi dengan orang-orang Indonesia juga. Dosen tersebut menceritakan bahwa banyak orang Indonesia yang lebih nyaman berinteraksi hanya dengan sesama orang Indonesia, bahkan yang sesama suku. Jadi, saat di luar negeri pun mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia bahkan bahasa daerah. Dalam mengerjakan tugas-tugas pun lebih banyak berpedoman pada warisan yang didapatkan dari mahasiswa senior atau yang sudah lulus yang berasal dari Indonesia. Bahkan secara ekstrim dosen tersebut menyatakan bahwa karena hal tersebut, maka jangan heran bila ada yang pernah menempuh pendidikan di luar negeri namun kemampuan bahasa inggrisnya tidak selayaknya orang yang pernah tinggal bertahun-tahun di luar negeri.

Cerita pengalaman dari dosen tersebut, sampai sekarang terus teringat oleh penulis. Selain karena sebagai bekal agar tidak terlalu rendah diri bila bertemu dengan mereka yang pendidikan/gelarnya lebih tinggi apalagi berasal dari luar negeri, kadangkala penulis juga menemukan fenomena yang diceritakan oleh dosen tersebut. Misalnya ada yang tidak menghargai perbedaan pendapat/lawan diskusi padahal yang bersangkutan lama menempuh pendidikan di luar negeri/negara maju, dimana perbedaan pendapat dan beradu argumentasi adalah hal yang biasa. Atau mereka yang masih sangat kental budaya feodal dan asal bos senang (ABS) padahal di negara-negara maju hal tersebut dianggap kuno bahkan tercela karena tidak menghargai kedudukan manusia yang sama. Ada juga yang sepertinya kurang nampak budaya akademiknya, padahal sebagaimana diceritakan sang dosen bahwa banyak tugas/paper dan juga presentasi yang harus dilakukan saat menempuh pendidikan di luar negeri sehingga harus rajin membaca jurnal dan membuat karya ilmiah. Terkait hal ini, mereka yang berpendidikan tinggi (misalnya strata dua ke atas) baik di luar negeri maupun di Indonesia seharusnya tampak cirikhas akademiknya. Misalnya dengan tetap membuat artikel-artikel ilmiah, melanjutkan kebiasaan semasa kuliah yang penuh dengan aktivitas riset dan ilmiah. Dosen yang penulis ceritakan pun menerapkan metode tersebut pada kami mahasiswanya yang hanya setara stara satu, sehingga cukup banyak tugas dan harus dipresentasikan menggunakan Bahasa Inggris.

Jadi, meskipun memiliki pendidikan/gelar yang tinggi dan banyak secara umum eqivalent dengan tingginya kemampuan/kualitas yang bersangkutan, namun mungkin saja terjadi yang tidak demikian yang merupakan anomali. Diibaratkan teko yang hanya mengeluarkan apa yang ada dalam isi teko tersebut. Sebaliknya, cukup banyak mereka yang pendidikannya rendah namun ternyata memiliki kemampuan dan kualitas yang tidak bisa dipandang remeh oleh mereka yang memiliki pendidikan tinggi. Bisa jadi malah kualitasnya melebihi mereka yang memiliki pendidikan jauh lebih tinggi. Dengan ilmu dan pendidikan yang lebih rendah, namun mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun untuk masyarakat.

Fenomena ini kurang lebih sebagaimana ditulis oleh Profesor Rheinal Kasali dalam artikelnya Teknologi Kampus VS Teknologi Kampung (Kompas.com, Senin, 29 Sept 2014 | 06:00 WIB). Mereka yang kurang beruntung tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi bahkan sampai ke luar negeri, jangan buru-buru berkecil hati. Bisa jadi malah memiliki kelebihan dan manfaat yang lebih banyak dibanding mereka yang berpendidikan tinggi baik dari dalam maupun luar negeri, walaupun mungkin saja pada awalnya akan dianggap remeh dan tidak berarti. Namun demikian bukan berarti menempuh pendidikan setinggi-tingginya adalah tidak penting. Selama memungkinkan, tempuhlah pendidikan setinggi-tingginya. Akan tetapi makin tinggi pendidikan seyogyanya diiringi dengan peningkatan kualitas dan manfaat yang bisa diberikan oleh yang bersangkutan.

Seorang Doktor dari Universitas Ternama di Jepang yang saya lupa namanya menyatakan “Not Schooling, but Performance Talks”. Hal ini muncul setelah yang bersangkutan mengamati hubungan antara pendidikan dengan kontribusinya, yang ternyata hasilnya tidak menjamin mereka yang berpendidikan tinggi akan memberikan kontribusi dan manfaat yang lebih banyak dibanding mereka yang tidak berpendidikan tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun