Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cermat Membaca Data Korupsi Partai Politik

4 April 2014   00:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:07 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13965220651497523257

Gambar diambil dari artikel di Kompasiana disini.

Gambar tentang data kasus korupsi yang dialami partai politik di atas ramai beredar di dunia maya. Beberapa tokoh partai politik termasuk simpatisan dan partisannya menggunakan gambar tersebut untuk tujuan menguntungkan partai politik masing-masing. Beberapa artikel yang beredar di dunia maya seperti milis dan kompasiana juga menjadikan data tersebut sebagai amunisi untuk menguntungkan partai idolanya. Bahkan ada caleg suatu parpol yang membuat artikel dengan data tersebut dengan maksud menguntungkan parpolnya, sayangnya penulisnya tidak memberitahu publik bahwa ia adalah caleg dari parpol yang diuntungkan dalam tulisannya.

Penulis mencoba menyajikan perspektif yang relatif netral dalam mencermati data-data korupsi yang dilakukan oleh orang-orang parpol tersebut. Membaca data tersebut sebaiknya tidak hanya melihat angka-angka ataupun grafiknya saja, karena bisa jadi akan memberikan kesimpulan yang tidak akurat yang akhirnya berujung pada kesalahan mengambil keputusan khususnya dalam menentukan pilihan dalam pemilu.

Pertimbangkan Dengan Variabel Lain

Bila hanya membaca data-data kuantitatif yang disajikan dalam grafik menarik tersebut, kemungkinan secara cepat banyak yang akan mengambil kesimpulan bahwa parpol yang kasus korupsinya paling sedikit adalah parpol yang paling baik dan paling layak dipilih. Benarkah demikian? Jangan keburu nafsu menyimpulkan sebelum mempertimbangkan variabel lainnya secara kualitatif dan relatif komprehensif, sehingga bisa didapatkan kesimpulan yang makin mendekati kebenaran atau keakuratan.

Variabel-variabel yang dapat ditambahkan dalam menilai data-data tersebut antara lain:

Sikap Partai terhadap anggota/elit/kadernya yang terlibat korupsi.

Lihatlah bagaimana partai dalam menyikapi kasus korupsi yang menerpanya. Apakah menyerahkan prosesnya sesuai hukum? Apakah kooperatif dalam proses yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (APH)? Apakah melakukan perlawanan pada APH dengan melemparkan berbagai tuduhan seperti tebang pilih, konspirasi, fitnah, pesanan, ada agenda tertentu dan sebagainya?

Partai yang kooperatif dan menyerahkan sesuai koridor hukum jelas lebih baik daripada partai yang sibuk membela diri dan menyerang frontal aparat penegak hukum dengan berbagai tuduhan yang mereka sendiri tidak bisa membuktikannya.

Dakwaannya dengan UU TIPIKOR saja atau juga dengan TPPU

Dakwaan kasus bisa mencerminkan kualitas kejahatan korupsi yang dilakukan. Kasus Korupsi yang diikuti tindak pidana pencucian uang, jelas menunjukkan betapa terencana dan matangnya suatu perbuatan. Bahkan bisa jadi melibatkan banyak pihak baik dari dalam maupun luar parpol bersangkutan.

Siapa yang melakukan korupsi

Korupsi yang dilakukan anggota parpol biasa yang menjadi anggota dewan kemungkinan besar beda kualitas dan masifnya dibandingkan korupsi yang dilakukan elit partai apalagi oleh ketua partai. Bila bukan pejabat utama parpol yang melakukan, mungkin saja skup permainannya hanya terbatas, namun bila sampai jajaran teras atau pengurus utama parpol atau ketuanya yang korupsi, jangan-jangan hal ini adalah fenomena gunung es. Ketuanya saja begitu, bagaimana dengan bawahannya? Apakah tidak mungkin ada elit-elit lain yang bermain namun belum apes bisa ketahuan oleh aparat penegak hukum saking “cantik dan rapinya” permainan yang dilakukan?

Dampak Korupsi yang dilakukan

Korupsi yang dilakukan bisa memberikan dampak yang berbeda, ada yang hanya merugikan suatu instansi pemerintah, adapula yang merugikan masyarakat baik yang langsung menyasar masyarakat tertentu atau menyulitkan banyak masyarakat secara umum. Misal: korupsi pada pembangunan gedung pemerintah dampaknya berbeda dengan korupsi pada dana bantuan untuk bencana atau busung lapar atau alat kesehatan atau yang merugikan ekonomi masyarakat seperti pengaturan suatu komoditi agar bisa menguntungkan pihak tertentu namun merugikan banyak masyarakat.

Nilai uang yang dikorupsi

Satu miliar, sepuluh miliar, seratur miliar hingga triliunan memang sama-sama korupsi. Namun secara relatif dapat diduga bahwa makin besar nilai suatu korupsi maka makin banyak pihak yang terlibat atau makin sistemik.

Dari daftar yang beredar di dunia maya tersebut, bisa dicek satu per satu partai mana yang paling banyak memenuhi variabel-variabel penilaian, termasuk juga variabel lainnya terkait kasus korupsi ataupun bukan kasus korupsi.

Masyarakat dapat menambahkan variabel-variabel lain yang ada misalnya kehadiran para anggota dewan dalam sidang, kasus-kasus lainnya seperti kasus asusila, cara kampanye dan lain sebagainya.

---

Bagi penulis pribadi, adanya data-data korupsi parpol tersebut adalah aib besar bagi semua parpol yang nama dan lambang parpolnya tercantum. Sedikit atau banyak kasus, parpol-parpol tersebut telah tercatat di memori masyarakat sebagai parpol yang gagal menerapkan janji-janjinya untuk tidak korupsi, mengklaim bersih, jujur dan amanah. Justru aneh bila ada parpol yang namanya tercantum dalam daftar, namun menggunakan data-data tersebut sebagai sarana untuk menguntungkan parpolnya sendiri. Justru hal ini memperlihatkan bahwa mereka bangga dengan adanya nama parpol dalam daftar korupsi tersebut. Bukannya minta maaf pada rakyat dan memberikan jaminan bahwa hal tersebut tidak akan terulang lagi di masa datang.

Data-data tersebut justru memberikan substansi informasi yang sangat penting pada masyarakat, bahwa semua parpol itu telah melakukan korupsi. Mereka tidak bisa menepati janjinya pada rakyat, mengkhianati nama Tuhan yang dipakai saat mengikrarkan sumpah jabatan di bawah saksi dan kitab suci agama masing-masing. Bahwa parpol tidak punya kuasa mengurusi, mengontrol dan mencegah anggotanya yang menjadi pejabat publik untuk tidak melakukan korupsi. Bila mereka tidak bisa mengurusi dan mengontrol anggotanya yang telah dikenal sehingga dipromosikan untuk jadi pejabat, bagaimana mereka bisa mengurusi rakyat yang tidak dikenal dan mengontrol negara untuk kesejahteraan rakyat?

Jadi, masih banggakah mereka dengan data-data korupsi tersebut???

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun