Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Matinya Kepakaran Akibat Ulah (Oknum) Pakar Itu Sendiri

19 Juni 2019   20:22 Diperbarui: 19 Juni 2019   20:53 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya." Demikianlah yang dinyatakan oleh Bre Redana seorang jurnalis senior (bisa dikatakan sebagai pakar jurnalis) untuk menggambarkan istilah "Matinya Kepakaran". Sebuah perumpaan yang sangat mudah dipahami. Kita hanya tinggal mengganti sepakbola dengan bidang atau materi yang lain saja.

Matinya Kepakaran adalah istilah yang berasal dari terjemahan judul buku karya Tom Nichols "The Death of Expertise". Matinya Kepakaran secara sederhana digambarkan sebagai situasi dimana semua orang, merasa tahu semua hal meskipun bukan ahlinya atau kompetensinya. Hal ini sering kali terjadi khususnya di media sosial. Orang-orang yang tidak paham bahkan awam berpendapat terhadap sesuatu seolah-olah menguasai ilmunya dan merasa bisa memecahkan persoalan yang ada.

Mereka justru mengabaikan pendapat para pakar yang asli. Bahkan juga menuduh para pakar yang berpendapat sesuai keahliannya sebagai pembohong. Atau meyakini pendapat dari pakar tersebut adalah karena ada apa-apanya, wani piro dan sebagainya. Padahal mereka tidak bisa membuktikan tuduhannya, juga tidak bisa menunjukkan dasar keilmuan dan data yang bisa dipertanggungjawabkan dalam berpendapat.

Contoh perilaku dalam fenomena matinya kepakaran antara lain: 

  • Seseorang yang merasa sebagai ustad atau ulama namun tidak menguasai ilmu-ilmu yang wajib dikuasai, bahkan sekadar ilmu-ilmu dasar seperti nahwu dan shorof (Tata Bahasa Arab). Banyak yang pede berceramah hanya bermodalkan terjemahan saja lantas menafsirkannya tanpa rujukan kitab-kitab dari para ahli (mujtahid) apalagi menggunakan ilmu yang seharusnya. Lucunya, orang-orang seperti ini justru sering merendahkan ulama yang juga pakar tafsir yang diakui dunia seperti Habib Muhammad Quraish Shihab.
  • Seseorang yang dengan yakin mengatakan selang cuci darah di rumah sakit tidak diganti-ganti hingga 40 kali. Padahal yang bersangkutan bukanlah ahli di bidang medis, juga bukan dokter.
  • Seseorang yang mengatakan bahwa utang pemerintah akan membuat negara menuju kebangkrutan dan terjadi krisis. Padahal yang bersangkutan tidak memiliki kompetensi di bidang ekonomi.

Akan tetapi, menurut saya terjadinya fenomena matinya kepakaran ini bukan hanya karena perilaku negatif dari orang-orang yang sok tahu. Hal tersebut juga disebabkan oleh perilaku beberapa oknum pakar sendiri yang berpendapat tidak sesuai dengan kompetensi atau latar belakang keilmuan yang dikuasainya. Termasuk pakar yang seolah mengingkari atau melawan keilmuan yang dikuasainya, sesuai keahliannya.  

Berikut adalah beberapa permisalan tindakan yang dilakukan oleh oknum pakar yang seolah menghilangkan dan mematikan kepakarannya sendiri.

  • Pakar yang membuat pernyataan tidak sesuai perkembangan terbaru.

Misalnya seorang pakar, berpendidikan tinggi bahkan pernah mememegang kewenangan berdasarkan keilmuan yang dimilikinya dalam bidang ekonomi. Pakar tersebut menyatakan bahwa tidak ada negara yang pemerintahnya menggunakan kartu kredit dalam melakukan belanja/pengeluaran.

Hal ini sangat jelas bertentangan dengan fakta yang terjadi. Penggunaan kartu kredit untuk belanja pemerintah sudah dilakukan sejak lama oleh berbagai negara. Sangat banyak artikel, jurnal, dan publikasi yang membahas tentang penggunaan kartu kredit dalam belanja negara. Pernyataan pakar tersebut seolah melenyapkan kepakarannya sendiri. Entah karena sengaja atau tidak sengaja akibat tidak mengikuti perkembangan terbaru.    

  • Pakar yang tidak menggunakan prinsip atau standard yang berlaku.

Misalnya seorang anggota legislatif mengkritik tentang utang pemerintah yang dianggapnya terlalu besar dan membahayakan ekonomi negara. Padahal sangat jelas bahwa undang-undang yang berlaku membolehkan pemerintah memiliki utang sampai 60% dari PDB. Sedangkan posisi utang masih dibawah 30% PDB. Pemerintah pun berusaha keras mengelola utang agar selalu dalam batasan sekitar 30% PDB.

Anggota legislatif harusnya memahami hal prinsip terkait utang pemerintah tersebut. Apalagi anggaran negara dimana termasuk utang didalamnya adalah hasil pembahasan antara pemerintah dengan legislatif. Pemerintah tidak bisa berutang tanpa persetujuan legislatif dalam undang-undang terkait anggaran.  

  • Pakar yang mendiamkan pernyataan yang salah dari kelompoknya.

Misalnya ada seorang dokter yang seharusnya pakar di bidang medis. Tentu saja seharusnya sangat memahami seluk beluk di bidang pengobatan dan kesehatan. Sudah kewajibannya untuk memberikan pencerahan dan penjelasan yang mencerdaskan publik dibidang kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun