Pernyataan Genderuwo.
"Rupiah melemah terhadap dollar, Indonesia menuju krisis ekonomi". "Utang pemerintah sangat besar, negara akan bangkrut". "Defisit transaksi berjalan terus meningkat, ekonomi Indonesia dalam keadaan berbahaya". "Insfrastruktur dikuasai China, Indonesia tergadaikan di tangan asing". "Utang BUMN terus membesar, krisis tahun 1998 akan terulang". "Ekonomi dikelola secara ugal-ugalan, Indonesia akan punah di tahun anu".
Kita pasti sangat sering mendengar ataupun membaca pernyataan-pernyataan dalam paragraph di atas, juga pernyataan lain sejenisnya. Pernyataan untuk menakut-nakuti rakyat yang dihembuskan dengan maksud-maksud tertentu. Pernyataan-pernyataan yang seringkali tanpa data ataupun memilah-milah data yang mendukung keinginannya saja (cherry picking). Kemudian menyimpulkan sesukanya tanpa metodologi yang benar, tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Kita sebut saja pernyataan-pernyataan tersebut sebagai "pernyataan genderuwo". Pernyataan yang sengaja dibesar-besarkan begitu lebay, agar yang mendengarkannya merasa takut bahkan panik. Padahal jika mau dipikirkan dengan matang, mempertimbangkan variabel yang saling terkait dan mengikuti standard yang berlaku universal, maka dapat diketahui bahwa Indonesia masih tahap aman, jauh dari krisis bahkan terus berkembang, tumbuh dan maju meskipun selangkah demi selangkah.
Ironisnya, orang-orang yang seharusnya paham terkait ekonomi berdasarkan latar belakang pendidikan dan profesinya justru ikut-ikutan ketakutan dengan pernyataan-pernyataan genderuwo. Percaya informasi hoaks terkait ekonomi bahkan menyebarkannya secara luas kepada masyarakat yang tentu saja banyak yang awam.
Saya pernah sangat terkejut saat membaca status medsos seorang lulusan S2 (Master) jurusan Ilmu Ekonomi dari Universitas Indonesia yang bekerja sebagai ASN di sektor Ekonomi-Keuangan. Yang bersangkutan menyatakan bahwa kunjungan Raja Arab Saudi ke Indonesia adalah dalam rangka misi menyelamatkan ekonomi Indonesia yang terjerat utang dari China. Jika yang berpendidikan S2 Ilmu Ekonomi UI saja pola pikirnya demikian, bagaimana dengan banyak masyarakat awam yang hanya tahu sedikit atau bahkan tidak paham ilmu ekonomi.
Untuk itulah sangat-sangat penting agar masyarakat mendapatkan informasi terkait kondisi ekonomi Indonesia terkini dari sumber yang kredibel dan dapat dipercaya. Yaitu yang berdasarkan ilmu pengetahuan, standard dan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan, bisa diuji. Jangan sampai pikiran masyarakat diracuni oleh pernyataan-pernyataan genderuwo sehingga mengambil keputusan yang salah sehingga merugikan bahkan membahayakan diri sendiri, masyarakat serta negara dan bangsa.
Kebijakan Makroprudensial untuk Menghindari Krisis.
Disinilah sangat krusial agar masyarakat mengetahui dan memahami bahwa Indonesia telah menerapkan kebijakan Makroprudensial untuk menghindari dan mencegah terjadinya krisis ekonomi. Perlu diketahui bahwa saat terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 Indonesia belum menerapkan kebijakan makroprudensial. Karena itulah, krisis ekonomi tahun 1998 tidak bisa dideteksi, diantisipasi dan dihindari sehingga sangat merugikan rakyat dan pemerintah Indonesia.
Krisis 1998 memberi tamparan keras agar pengelolaan ekonomi Indoensai segera menerapkan kebijakan makroprudensial. Dan sejak awal tahun 2000, barulah dimulai era penerapan aspek makroprudensial yaitu dengan menyusun kerangka stabilitas sistem keuangan Indonesia dan pembentukan Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK) di Bank Indonesia.