Pesta Demokrasi atau Pemilu tahun 2019 telah berlalu, namun keriuhan, kehebohan hingga keributan tak juga kunjung berhenti. Ada yang benar-benar bergembira layaknya habis berpesta. Juga yang terus marah-marah seperti mengalami tekanan batin hidupnya.
Apapun informasi terkait Pemilu utamanya Pilpres selalu menimbulkan pro dan kontra. Hal ini terutama karena persepsi yang berbeda-beda hingga mau seenaknya sendiri saja. Padahal jika semuanya mau kembali pada standard yang ada, tentu saja tidak perlu ada keributan yang tidak perlu bahkan pernyataan atau tindakan yang memalukan. Standard yang harus jadi acuan adalah Undang-Undang No.17 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Quick Count (QC) atau Hitung Cepat adalah bagian dari bentuk partisipasi masyarakat yang dijamin oleh UU 17/2017 yaitu Pasal 448. Hal ini juga ditegaskan oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi. Lagipula, hanya Lembaga Survey yang terdaftar di KPU yang boleh melaksanakan dan mengumumkan hasil survey seperti Quick Count. Diluar itu bisa dikatakan ilegal.
Khusus terkait Lembaga Survey, maka harus bersedia diaudit dengan membuka metode, petugasnya, pengambilan data hingga data-data terkait survey (QC) yang dilakukannya. Jika tidak sesuai standard maka mendapatkan sanksi tegas. Selain itu, sangat mungkin menjadi permasalahan hukum jika ternyata telah melakukan kebohongan ataupun rekayasa.
Terlepas apapun hasil dari  QC, jelas dan pasti tidak mempunyai ketetapan hukum karena bukan hasil resmi KPU. Namun demikian, tentu saja tidak bisa diabaikan jika dalam sejarahnya QC telah terbukti relatif akurat seperti hasil Real Count KPU.Â
Hal ini telah terbukti sejak tahun 2004 dimana QC pertama kali dilakukan. Hasil QC pun selalu diterima dan diakui masyarakat secara luas. Hasil QC terakhir yang menjadi berita besar adalah pada Pilgub Jakarta tahun 2017 yang memenangkan Anis Baswedan-Sandiaga Uno, yang juga menunjukkan keakuratannya baik di Tahap I maupunTahap II Pilgub Jakarta.
Bagi yang tidak mau menerima hasil QC juga bukanlah masalah dan tidak melanggar UU Pemilu. Namun jika menuduh Lembaga Survey melakukan kecurangan dalam QC, maka seharusnya bisa menunjukkan bukti-buktinya. Dan bila memiliki bukti-buktinya maka dapat melaporkan ke pihak berwenang atau dilakukan proses hukum.Â
Pihak Lembaga Survey pun tetap bisa membela dirinya dari tuduhan curang dan sekaligus bisa menuntut balik jika tuduhan tersebut adalah tidak benar. Jadi, memang sebaiknya diselesaikan melalui proses hukum untuk mendapatkan kepastian.
Sesuai UU Pemilu, KPU diberikan waktu paling lama 35 hari kalender untuk mengumumkan hasil PEMILU. Hal ini tercantum dalam Pasal 413 ayat (1). Oleh karena itu, tidak boleh sembarangan mengatakan atau menuduh bahwa KPU bekerja lambat. Apalagi jika sampai menuduh kelambatan tersebut karena KPU melakukan kecurangan untuk memenangkan pihak tertentu.
Hal tersebut tentu saja adalah tuduhan yang sangat serius yang bisa mendeligitimasi kerja keras KPU. Juga akan mengecilkan pengorbanan berbagai pihak demi terlaksananya PEMILU dengan baik, jujur dan lancar.Â
Dan pihak manapun yang melontarkan tuduhan tersebut haruslah benar-benar yakin mempunyai bukti-bukti yang akurat dan bisa diandalkan untuk digunakan dalam proses hukum. Jangan hanya melontarkan tuduhan sporadis yang akan memanaskan situasi di masyarakat. Indonesia adalah negara hukum, karena itu seharusnya semua pihak menggunakan cara yang cerdas dan beradab yaitu melalui jalur hukum.