2. Di masjid Istiqlal saya pernah melihat papan pengumuman yang berisi foto para pencuri yang tertangkap. Papan pengumuman bisa dibaca siapa saja, bahkan bisa difoto & divideokan siapa saja. Mencuri jelas melanggar hukum dan itu adalah tugasnya penegak hukum. Namun bukan berarti pengurus Masjid tidak boleh memajang foto si Pencuri sebagai kontrol sosial untuk mencegah terjadinya kejadian yang sama atau berulang.
3. Di media sosial pun tak luput dari kontrol sosial. Ambil contoh media sosial dari grup Anti Hoaks. Banyak sekali menampilkan capture dari status media sosial individu atau pihak tertentu yang membuat atau menyebarkan hoaks. Pelakunya bisa diidentifikasi dari tautan ataupun foto profil yang ditampilkan.
4. Di platform Kompasiana tempat kita menulis pun terdapat event menulis yang merupakan kontrol sosial. Salah satunya adalah "Video Competetion: Yuk Awasi Pemilu 2019 Melalui Media Sosial!". Pesertanya harus membuat konten video yang bertujuan membantu pengawasan penyelenggaraan Pemilu, antara lain: Kampanye hitam; Pihak yang tidak boleh terlibat dalam kampanye (Perangkat MA, BPK, ASN, Perangkat Desa, TNI, Polri, dan WNI yang tidak memiliki hak pilih---anak-anak); Pemasangan alat peraga kampanye yang tidak sesuai tempat dan merusak visual kota. Bukankah konten tersebut mempublikasikan pelanggaran yang dilakukan dalam PEMILU?
Apakah keempat contoh di atas bisa dikatakan Social Justice Warrior (SJW) karena mempublikasikan secara umum bahkan secara luas terkait orang atau pihak yang melakukan pelanggaran peraturan (hukum)? Tentu saja tidak!
Keempat contoh publikasi pelanggaran tersebut relatif sama dengan publikasi di media sosial terhadap pelanggaran lainnya seperti foto orang yang buang sampah sembarangan, foto orang yang bergelantungan di MRT, video orang yang merusak fasilitas umum, dan aneka pelanggaran lainnya.
Masyarakat ataupun pihak tertentu juga berhak bertindak jika melihat pelanggaran yang terjadi secara terang-terangan. Tidak harus menunggu dan mengandalkan petugas ataupun pihak berwenang untuk bertindak. Tindakan masyarakat tergantung kadar kemampuan yang dimilikinya untuk menghentikan pelanggaran ataupun membuat efek jera agar pelanggaran tidak terulang lagi baik oleh si pelaku ataupun pihak lain (calon pelaku).
Masyarakat bisa menegur langsung misalnya pada orang yang buang sampah sembarangan atau yang bergelantungan di MRT. Juga boleh saja jika ada yang memfoto ataupun memvideokan lalu menguploadnya di media sosial. Bertindak langsung pun dimaklumi, misalnya saat menangkap pelaku pencopetan atau penjabretan.
Masyarakat boleh bertindak tanpa harus menunggu petugas atau yang berwenang, sesuai situasi dan kondisi yang dirasakannya. Yang penting bagaimana mengontrol tindakan terhadap suatu pelanggaran agar jangan sampai bertentangan dengan peraturan ataupun tidak bisa diijinkan/dimaklumi oleh peraturan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H