Utang Pemerintah Indonesia sedang dalam keadaan gawat darurat. Jumlahnya sangat besar mencapai 5.000 triliun sehingga akan membuat bangkrut ekonomi negara."
""Harga-harga kebutuhan pokok di Indonesia makin mahal, rakyat menjerit kesusahan. Hal dapat dilihat dari ukuran tempe yang dijual di pasar makin kecil hingga setipis ATM. Makan nasi ayam di Jakarta pun harganya lebih mahal daripada di Singapura."
"Korupsi di Indonesia makin marah. Buktinya makin banyak pejabat dan kepala daerah yang terkena OTT KPK. Pemerintah telah gagal dalam melakukan pemberantasan korupsi."
Demikianlah kurang lebihnya pernyataan-pernyataan yang sering kita dengar atau baca akhir-akhir ini. Pernyataan-pernyataan yang dimaksudkan sebagai kritik kepada pihak lain.Â
Sekilas, kritik tersebut terlihat mantap betul apalagi dari sisi masyarakat awam. Padahal bila dipadankan dengan standard tertentu yang dibuat oleh para ahli dan berlaku universal, maka apa yang dianggap sebagai kritik tersebut bisa dikatakan tidak berdasar.
Topik tentang Utang Luar Negeri, Harga-harga Kebutuhan Pokok dan Tingkat Keparahan Korupsi suatu negara adalah beberapa materi yang sedang hangat menjadi pembahasan berbagai pihak, baik dari yang awam hingga level yang berpendidikan tinggi. Terlebih lagi dalam situasi politik yang sedang ramai seperti saat ini, pembahasan makin intens, seru dan berkelas. Â
Di era media sosial yang begitu mudah dan bebas saat ini, setiap orang bisa dengan mudah menilai apapun dengan dalih sedang melakukan kritik. Sayangnya, banyak sekali yang menilai sesuatu tanpa memiliki pengetahuan yang cukup. Penilaian hanya dilakukan berdasarkan persepsinya saja. Padahal terdapat standard tertentu untuk menilai baik buruknya atau bagus tidaknya suatu materi. Ironisnya, cukup banyak orang yang berpendidikan bahkan memiliki latar keilmuan yang memadai namun tidak mau menggunakan standard yang ada dalam melakukan penilaian.
STANDAR MENILAI UTANG PEMERINTAH
Banyak yang menilai utang pemerintah hanya dengan melihat nominal jumlahnya saja. Misalnya mendapati angka 5.000 triliun rupiah terasa begitu besarnya. Apalagi jika kerangka berfikirnya membandingkan dengan utang pribadi atau perusahaan yang secara jumlah nominalnya tidak mungkin mencapai ribuan triliun rupiah. Lantas langsung mengambil kesimpulan bahwa perekonomian negara sedang dalam tahap yang berbahaya, terancam krisis dan sebagainya.
Padahal secara ilmu pengetahuan yang berlaku umum khususnya di bidang ekonomi dan keuangan, terdapat standard dalam menilai utang suatu pemerintah. Standardnya adalah jumlah utang dibandingkan dengan PDB. Hasilnya pun harus dilihat kembali apakah melewati angka psikologis (30%) ataukah tidak. Juga untuk konteks Indonesia, harus mengaju pada standard yang ditetapkan Undang-undang yaitu batas utang yang diperbolehkan adalah 60% dari PDB. Dengan mengacu pada standard diatas, barulah dapat disimpulkan posisi utang Indonesia apakah berbahaya ataukah tidak.
STANDARD MENILAI HARGA-HARGA KEBUTUHAN MASYARAKAT.
Tingkat inflasi suatu negara adalah standard yang digunakan untuk menilai apakah harga-harga kebutuhan (pokok) relatif terjangkau ataukah tidak. Tingkat inflasi suatu negara ditentukan dengan cara-cara tertentu menggunakan ilmu statistik. Hal ini berlaku universal di seluruh dunia. Hasilnya menjadi acuan untuk menentukan program, kebijakan dan serangkaian tindakan dalam perekonomian suatu negara.
Di pemerintahan Indonesia sendiri, tingkat inflasi ini dibahas dan diawasi sedemikian rupa di setiap daerah oleh Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID). Jika inflasi tinggi berarti harga-harga meningkat yang akan menyulitkan masyarakat sehingga dapat segera diambil tindakan sesuai kebutuhan, sarana yang tersedia dan kekhasan di masing-masing daerah.