Apalagi paradigma auditor di era reformasi birokrasi sekarang ini adalah “tidak mencari-cari kesalahan”. Bila masih ada auditor yang mencari-cari kesalahan tanpa data dan fakta yang akurat, hingga menawarkan “kesepakatan” berdasarkan temuan-temuan tersebut, maka auditor tersebut jelas-jelas telah melanggar independensinya.
Etika utama auditor adalah independen. Independen berarti auditor harus jujur, bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain dan tidak tergantung pada orang lain karena melakukan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Meskipun begitu, independensi dari auditor berpotensi mendapatkan gangguan baik yang berasal dari pribadi, pihak eksternal ataupun dari dalam organisasi atau lembaga audit itu sendiri.
Bila kebetulan penyelenggara negara harus berhadapan dengan auditor yang dirasakan tidak independen bahkan tidak berintegritas, maka tidak perlu khawatir apalagi takut. Selama apa yang dikerjakan telah sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Secara persepsi pribadi, ada cara yang sederhana untuk menilai apakah auditor (pemerintah) berpotensi independen ataukah tidak. Lihatlah selama melakukan audit, apakah menerima jamuan dari pihak yang diperiksanya ataukah tidak. Bila auditor menerima jamuan seperti makan dan minum padahal dalam melakukan audit pasti telah mendapatkan alokasi dana untuk makan dan minum, maka bagi saya itu adalah tanda-tanda yang kurang baik. Apalagi jika auditor menerima saja apa yang diberikan auditee bahkan hingga meminta ini itu, misalnya minta diantar jalan-jalan atau rekreasi dalam rentang waktu tugas auditnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H