Mohon tunggu...
Amirsyah Oke
Amirsyah Oke Mohon Tunggu... Administrasi - Hobi Nulis

Pemerhati Keuangan negara. Artikel saya adalah pemikiran & pendapat pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Hukuman dan Diskriminasi di Sekolah

3 Mei 2015   08:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama bersekolah dari SD hingga SMA sangat banyak hal yang menyenangkan dan bermanfaat yang saya alami. Namun demikian cukup banyak juga hal-hal yang kurang menyenangkan yang sampai sekarang pun tidak bisa terlupakan. Entah mengapa, hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut selalu berkaitan dengan status ekonomi saya yang kurang mendukung untuk memenuhi semua permintaan dari sekolah/guru.

Saat SD Dijemur Karena Tidak Ikut Les

Saat kelas 5 SD (sekitar tahun 1987), guru kelas mengadakan les pelajaran matematika. Semua murid diwajibkan untuk ikut les pada hari minggu pagi. Setiap murid harus membayar Rp100,- (seratus rupiah) setiap kali les.

Meskipun hanya membayar Rp100,- namun saat itu bagi murid-murid dari kalangan tidak mampu seperti saya, sangat memberatkan. Saya sendiri sering datang ke sekolah dengan menahan lapar, itupun ditambah lagi harus berjalan kaki sekitar 5km jarak dari rumah hingga ke sekolah. Lapar saya bisa terobati tatkala beberapa teman yang mampu mentraktir jajan. Saat itu dengan uang Rp5,- (Lima rupiah) saja sudah bisa digunakan untuk jajan sampai kenyang.

Jadi tidak aneh, bila saya dan beberapa teman yang tidak mampu terpaksa tidak ikut les meskipun sangat menginginkannya. Sayangnya guru saya saat itu seolah tidak terima ada beberapa muridnya yang tidak ikut les. Di hari senin, saya dan beberapa murid yang tidak ikut les tidak boleh masuk kelas dan dijemur di halaman sekolah. Panas matahari membuat kami kelelahan. Salah satu teman saya yang kesal diperlakukan tidak adil sampai berujar, “Ingin rasanya ku bom sekolah ini”. Semoga teman SD saya itu di masa dewasanya tidak bergabung dengan kelompok radikal semacam ISIS karena terbawa dendam di masa SD.

Saat SMP Pipi Dijadikan Alat Musik (Ditampar)

Di kelas 2 SMP (tahun 1993) saya kembali mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari guru yang tidak akan bisa terlupakan. Saat itu saya dan beberapa teman dari kalangan keluarga tidak mampu tidak membawa suling yang diwajibkan dalam pelajaran seni musik. Saat itu harga sebuah suling sekitar Rp16.000,- terasa mahal bagi kalangan yang tidak mampu dimana untuk makan sehari-haripun diupayakan sedemikian kerasnya.

Saat pelajaran seni musik, saya dan beberapa murid yang tidak membawa suling di suruh berdiri di depan kelas. Murid-murid yang memiliki suling diperintahkan guru memainkan sebuah lagu. Selama lagu didendangkan dengan suling, selama itu pula sang guru menampar pipi kami bergantian mengikuti nada musik. Saya tidak bisa menghitung berapa kali pipi ini ditampar. Saat itu saya berusaha menahan emosi mendapat perlakuan tersebut. Bukan karena rasa sakit akibat tamparan, namun karena harga diri yang terluka diperlakukan sedemikian rupa di depan teman-teman sekelas.

Saat SMA Didiskriminasi Karena Tidak Ikut Les

Di bangku SMA saya kembali mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan yang tidak bisa terlupakan. Guru di bidang eksak menyelenggarakan les dengan biaya Rp25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) per bulan. Lagi-lagi karena kondisi ekonomi keluarga yang lemah, saya dan juga beberapa teman tidak bisa mengikuti les tersebut.

Tidak ada paksaan bagi murid untuk mengikuti les. Meskipun begitu, tampak jelas guru melakukan diskriminasi. Ada perbedaan perlakuan mencolok antara murid yang mengikuti les dengan yang tidak. Murid yang ikut les lebih diperhatikan dan soal-soal saat ujian sama persis dengan yang diberikan/dibahas saat les. Hal ini membuat murid yang tidak ikut les relatif kesulitan untuk bersaing mendapatkan nilai ujian yang baik. Meskipun begitu, tetap saja ada murid yang mengikuti les namun nilai-nilai ujiannya buruk. Anehnya, murid tersebut tetap mendapatkan nilai 7 (tujuh) di rapot, sedangkan murid-murid yang tidak les mendapatkan nilai apa adanya.

Kondisi ini membuat saya dan beberapa teman begitu kecewa. Namun demikian, kami tetap berusaha mati-matian agar tidak ketinggalan dalam pelajaran-pelajaran guru yang mengadakan les tersebut. Kami belajar lebih intensif, membuat kelompok belajar sendiri dan juga mengadakan pendekatan kepada teman yang ikut les agar bersedia meminjamkan materi/bahan yang dibahas saat les. Ternyata untuk mendapatkan materi/bahan les tidak mudah karena teman-teman tidak ada yang berani memberikan akibat dilarang keras oleh sang guru. Namun akhirnya ada seorang teman yang mau meminjamkan meskipun dengan syarat harus berjanji untuk menjaga kerahasiaan agar jangan sampai ketahuan teman yang lain apalagi guru yang memberikan les.

---

Demikianlah beberapa pengalaman buruk yang tidak terlupakan saat menjalani pendidikan dari SD hingga SMA. Saya harapkan, hal-hal tersebut tidak terjadi lagi di sekolah khususnya di era sekarang ini dimana reformasi birokrasi telah dilaksanakan, kesejahteraan guru (khususnya PNS) yang telah jauh meningkat dan juga anggaran besar telah dialokasikan untuk pendidikian yang mencapai 20 persen dari APBN. Dunia pendidikan harusnya menjadi garda terdepan menghapus diskriminasi terutama terkait faktor ekonomi.

Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga Pendidikan Indonesia mampu menghasilkan manusia-manusia Pancasila sesuai yang diinginkan para pendiri negara ini. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun