[caption id="attachment_259502" align="aligncenter" width="620" caption="Petugas Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak (SPBU) di kawasan Pejompongan, Jakarta mengisi bahan bakar Pertamax./Admin (KOMPAS/RIZA FATHONI)"][/caption]
Pemerintah selalu mengeluh bahwa pemakaian BBM bersubsidi sudah hampir over kuota. Bersamaan dengan itu selalu dihimbau kepada masyarakat menengah keatas yang memiliki kendaraan untuk tidak menggunakan BBM bersubsidi, agar menggunakan Pertamax. Di SPBU-SPBU pun sekarang gencar dipasang stiker dan pamflet terkait himbauan bahkan larangan agar tidak memakai BBM bersubsidi.
Sebagai warga negara yang baik yang kebetulan juga sebagai abdi negara, saya menyambut baik ajakan dari Pemerintah dan Pertamina untuk tidak menggunakan BBM Bersubsidi. Hal ini bukan untuk sok-sok-an atau gaya-gaya-an. Selain dari manfaat Pertamax yang membuat mesin & karburator motor bebek saya lebih terawat, saya juga miris melihat APBN yang sekitar Rp1.600T itu dialokasikan untuk subsidi BBM yang mencapai lebih dari Rp200T bahkan bisa jadi akan tembus Rp300T bila tidak dibatasi. Bandingkan dengan alokasi untuk layanan kesehatan murah bagi masyarakat Rp55,9T (termasuk Jamkesmas Rp8,29T) atau dana untuk Infrastruktur Rp201,3T. Betapa tidak produktivnya dan tidak memberi nilai tambah untuk kesejahteraan rakyat.
Namun sayangnya di Makassar, bagi pengguna motor seperti saya ini, untuk mengisi PERTAMAX di SPBU butuh usaha ektra dibanding bila membeli BBM bersubsidi. Pengguna premium bisa dengan mudahnya mendapatkan premium baik eceran di jalan-jalan apalagi di setiap SPBU. Apalagi untuk pengguna mobil pribadi, SPBU terlihat lebih mengutamakan mereka. Lain halnya dengan pengguna pertamax yang harus bersusah payah mendapatkannya. Tidak setiap SPBU menyediakan pertamax, kalaupun ada, itupun petugas sering mengatakan "habis" sambil berteriak dari seberang saat sedang melayani pembeli premium.
Sering juga sang petugasnya entah kemana, harus bertanya dulu, mencari-cari baru beberapa menit kemudian sang petugas datang melayani. Apalagi untuk pengendara motor, yang mengisi pertamax harus sama-sama dalam satu antrian dengan pembeli premium. Bayangkan saja, dari 30 motor yang antri, kebetulan kita nomor terakhir dan hanya kita yang membeli pertamax! Betapa besarnya pengorbanan untuk membeli pertamax yang notabene harganya lebih mahal diatas 200% dibanding premium!!!
Dari sini sangat jelas ketidakseriusan para pihak yang berwenang dalam menanggulangi permasalahan pembatasan BBM bersubsidi. Sebagai konsumen yang membeli produk yang lebih mahal dan tanpa subsidi, kita tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Tidak ada bedanya membeli premium atau pertamax khususnya bagi pengguna kendaraan roda dua. Sudah seharusnya pemerintah dan pertamina memberikan pelayanan lebih kepada pengguna pertamax. Kami tidak perlu pelayanan yang muluk-muluk, cukup sediakan akses yang mudah untuk membeli pertamax. Kami peduli untuk meringankan beban negara ini dengan tidak menggunakan BBM bersubsidi, walau kami bukan golongan kaya yang mampu membeli mobil. Mohon jangan diskriminasi pengguna pertamax dari kalangan kendaraan roda dua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H