Menjelang pemilihan umum (pemilu) anggota legislatif tahun 2014, banyak muncul ketakutan dengan meningkatnya golongan putih (golput). Golput yang ditakuti tersebut diartikan sebagai masyarakat yang dengan kesadaran sengaja tidak mau memilih partai politik apapun beserta calon legislatif (caleg) yang diusung partai politik. Hal ini bisa jadi disebabkan masyarakat sudah tidak percaya pada partai politik termasuk pada aleg-aleg dan caleg-calegnya.
Ketidakpercayaan pada parpol dan aleg-aleg/caleg-calegnya ini bukan tanpa alasan. Sangat banyak fakta-fakta yang membuat masyarakat kecewa bahkan merasa ditipu mentah-mentah oleh parpol dan aleg/caleg-calegnya. Berikut adalah beberapa fakta tersebut:
1.Anggota Legislatif Tidak Amanah
Contoh kecil saja dari aktivitasnya menghadiri sidang DPR. Media terutama televisi, seringkali meliput ruang sidang DPR dimana sangat banyak yang tidak hadir. Sidang di DPR yang konon katanya dalam rangka membicarakan nasib rakyat saja, banyak yang tidak hadir. Lantas apanya rakyat yang sedang mereka pikirkan? Banyak aleg yang ngeles dengan segala macam alasan terkait ketidakhadiran dalam sidang-sidang DPR. Kalo memang sidang DPR tidak penting, untuk apa diadakan sidang? Sekalian saja tidak usah diadakan sidang dalam agenda kegiatan DPR. Parpol yang menjadi induk dari anggota legislatif pun tidak berbuat apa-apa untuk mendisiplinkan alegnya.
2.Anggota Legislatif Tidak Berkinerja
Lihat saja berapa banyak target undang-undang yang tidak selesai? Para aleg dan parpol jelas membela diri hingga mengkambinghitamkan pihak lain. Padahal target-target tersebut mereka sendiri yang membuatnya dan diumumkan ke publik. Target penyelesaian UU jelas diiringi dengan ketersediaan dana APBN untuk menyelesaikannya. Bila setiap tahun dana tersedia bahkan terpakai sedangkan UU nya tidak kunjung selesai, bagaimana pertanggungjawaban mereka?
3.Anggota Legislatif Terlibat Kasus Korupsi
Semua parpol, alegnya ada yang terlibat kasus korupi. Dalam sidang kasus korupsi kerap kali diperdengarkan pernyataan saksi-saksi bahkan rekaman hasil penyadapan KPK dimana banyak disebut keterlibatan aleg-aleg parpol. Bahkan aleg yang telah divonis merupakan pemegang jabatan penting di suatu parpol seperti bendahara bahkan ketua partai. Masyarakat tentu sah-sah saja menduga bahwa elit parpol yang merupakan orang-orang penting di parpol, yang berpengaruh pada keputusan dan jalannya parpol, bila mereka terlibat kasus korupsi, hal ini bisa jadi adalah fenomena gunung es. Mungkin saja masih banyak lagi yang terlibat, namun belum apes bisa terungkap.
4.Parpol Dinasti
Kebanyakan parpol tidak bisa lepas dari dinasti. Parpol seolah menjadi milik klan-klan tertentu. Elit-elit parpol sangat banyak yang memiliki hubungan keluarga, bahkan terlihat vulgar parpol mengarahkan dari kalangan keluarga tertentu untuk menjadi pengendali utama partai. Hal ini menunjukkan parpol tidak bisa menemukan orang-orang baik dari ratusan juga rakyat Indonesia untuk dijadikan kader dan elit-elit partai. Budaya feodalisme begitu kental dalam kehidupan parpol. Bila mereka sendiri hanya percaya pada kerabat-kerabatnya, bagaimana banyak rakyat yang tidak punya hubungan kerabat dengan mereka bisa memberikan kepercayaan?
5.Politik Dagang Sapi
Kehebohan di ranah politik lebih sering dilatarbelakangi politik dagang sapi. Berapa banyak pansus yang tidak ada hasilnya? Rakyat tidak mendapatkan informasi yang transparan dan akuntabel terkait pansus-pansus tersebut.
6.Anggota Legislatif yang Baik Tidak Bisa Berbuat apa-apa
Orang-orang baik yang ada di dalam parpol, lebih sering tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka semua harus tunduk pada kehendak partai yang dikendalikan elit-elit parpol. Bila ada aleg yang membangkang petunjuk dari parpol meskipun dengan pertimbangan mendengarkan aspirasi rakyat, pastilah akan dikenakan sanksi seperti PAW hingga pemecatan.
7.Pejabat negara dari parpol yang tidak independen
Banyak pejabat negara yang tidak bisa membedakan mana urusan parpol mana urusan negara/rakyat. Bahkan seringkali terkesan, kegiatan-kegiatan dinas pejabat yang berasal dari parpol waktu dan tempatnya bertepatan dengan kegiatan-kegiatan parpol tersebut. Bahkan dalam suatu sidang kasus korupsi, terlihat bahwa seorang menteri dari suatu parpol seolah menuruti arahan sang ketua parpol untuk menguntungkan pengusaha tertentu.
8.Iklan Caleg yang Merusak Pohon
Berapa banyak caleg yang memasang iklan kampanyenya secara serampangan, melanggar aturan bahkan merusak? Mungkin sangat sulit untuk menunjuk mana caleg yang tidak demikian. Lihat saja poster-poster caleg dengan segala macam ukuran dipasang di sembarang tempat, merusak taman, dipaku dipohon, ditempel ditiang listrik sehingga merusak fasilitas umum dan membuat kumuh pemandangan kota. Bila hal kecil seperti ini saja tidak terpikirkan oleh mereka, bagaimana mereka akan memikirkan hal-hal besar seperti nasib jutaaan rakyat?
9.PNS tidak netral
PNS yang tidak netral makin membuat masyarakat tidak percaya pada parpol. Masyarakat tentu curiga, para PNS tersebut mungkin saja menggunakan berbagai fasilitas negara untuk berkampanye demi parpol idolanya. PNS yang partisan bisa saja melayani dengan pandang bulu dan lebih mengutamakan yang separtai dengan dirinya.
10.Caleg Itu-Itu Saja
Hampir semua aleg yang bisa dikatakan tidak berkinerja kembali mencalonkan diri lagi. Selain itu parpol juga kerab mengedepankan kekerabatan untuk dipasang sebagai caleg. Parpol dan orang-orang tertentu dengan enteng lepas tangan dan mengatakan, pilih orang-orang yang baik saja. Padahal yang menentukan siapa saja yang akan dicalonkan adalah parpol itu sendiri. Ironis bukan?
11.Parpol Itu-itu saja
Secara umum parpol-parpol yang ada relatif tidak jauh berbeda. Adanya tambahan partai-partai baru, tetap saja diisi oleh orang-orang lama dari partai yang berbeda sebelumnya. Sulit untuk percaya bahwa mereka berbeda dari yang sebelumnya. Bila di partai yang lama saja dimana mereka pernah menjadi elit partai yang ikut menentukan arah dan tujuan partai mereka tidak bisa berbuat apa-apa, apa yang menjamin mereka bisa lebih baik dari sebelumnya?
Bila dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat yang merasa tertipu oleh pihak lain bisa melaporkannya kepada aparat hukum untuk kemudian bisa dituntut pertanggungjawabannya di muka hukum, lantas bagaimana menuntut parpol/aleg yang tidak melaksanakan janji-janjinya? Tentu saja mereka dengan mudah berkelit dengan jawaban: jangan dipilih lagi. Setelah pemilu, parpol yang sama tetap mengingkari banyak janji-janjinya. Demikian seterusnya, siklus berulang. Masyarakat hanya terpikirkan saat sedang dibutuhkan menjelang pemilu.
Fakta-fakta di atas jelas merupakan tantangan tersendiri bagi Parpol termasuk orang-orang yang katanya atau mengklaim orang-orang baik sehingga mengajukan diri agar dipilih menjadi wakil rakyat. Apakah mereka bisa menjelaskannya kepada masyarakat agar bisa tetap meraih simpati dan kepercayaan. Sebaiknya parpol, elit-elit, aleg/caleg dan orang-orang yang telah memiliki preferensi terhadap parpol tertentu instropeksi dan berpikir keras bagaimana mengatasi hal ini. Hanya mereka yang bisa bicara dari hati ke hati dengan calon pemilih yang akan mendapatkan pengertian dan dukungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H