Kontroversi dalam Pilpres 2014 sepertinya adalah yang tersengit dibanding pemilu-pemilu yang sebelumya yang dilaksanakan di Indonesia. Sejak masa kampanye hingga berakhirnya pencoblosan, kontroversi terus terjadi. Kontroversi setelah pencoblosan yang paling panas adalah adanya perbedaan hasil quick count antara beberapa lembaga survey, sehingga tidak ada pihak yang mau legowo mengakui kekalahan.
Sebagaimana diketahui, ada dua belas hasil quick count dari lembaga survey yang berbeda-beda. Hasil quick count terbagi atas dua kelompok yaitu yang hasilnya menyatakan Jokowi-Kalla unggul sebanyak delapan lembaga survey, dan yang hasilnya menyatakan Prabowo Hatta unggul sebanyak empat lembaga survey. Masing-masing kubu mengklaim kemenangan, bahkan ada yang sudah mengadakan syukuran. Disisi lain, beredar berbagai informasi bahwa ada kebohongan yang dilakukan oleh lembaga survey untuk menyenangkan kubu yang membayarnya.
Kita sebagai masyarakat awam yang tidak terlalu paham hingga detil terkait quick count, sebenarnya bisa juga melihat indikasi awal yang dapat membedakan antara hasil quick count yang dapat dipercaya dengan hasil quick count abal-abal. Banyak artikel di internet yang memuat pendapat para ahli dan pakar dibidang survey termasuk quick count. Ada beberapa indikator awal untuk membedakan yang relatif bisa dipercaya dengan yang abal-abal, yaitu:
1.Track Record Lembaga Survey. Indonesia sudah banyak sekali melakukan berbagai pemungutan suara baik pileg, pilpres dan pilkada. Telusuri saja hasil quick count yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga survey. Bila hasilnya tidak jauh beda dengan hasil yang dikeluarkan oleh KPU atau bahkan sangat mendekati, maka makin bisa dipercaya. Juga demikian sebaliknya.
2.Perbandingan dengan hasil quick count lembaga survey lainnya. Pada umumnya, metodologi dan pengambilan sampel antara lembaga survey yang melaksanakan quick count secara prinsip tidak jauh berbeda. Oleh karena itu biasanya hasil quick count antara berbagai lembaga survey tidak begitu jauh berbeda. Bila terjadi perbedaan yang besar atau bahkan berkebalikan, maka bisa menjadi tanda-tanda adanya prinsip yang dilanggar.
3.Siapa yang membayar/mendanai lembaga survey. Meskipun tidak selalu, namun bisa saja lembaga survey tertentu berusaha menyenangkan siapa yang mengasapi dapur mereka, lalu melakukan hal-hal untuk mendapatkan hasil yang diinginkan sang penyandang dana. Terkait hal ini, masyarakat tinggal memilah mana lembaga survey yang bekerjasama atau dibayar oleh masing-masing kubu dan mana yang melakukannya dengan biaya sendiri/independen. Masyarakat juga bisa memilih untuk percaya hasil dari lembaga survey yang walaupun bekerja sama dengan salah satu kubu, namun hasilnya malah menyatakan kubu yang lain yang menang.
Indikator-indikator diatas merupakan hal-hal yang bisa menjadi pegangan masyarakat untuk memilih ingin mempercayai hasil quick count yang mana dari sekian banyak lembaga survey. Namun demikian hal ini hendaknya tidak perlu sampai menimbulkan konflik yang dahsyat. Cukup dijadikan bahan/materi dalam berdiskusi dan berargumen secara relatif cerdas. Bukan mentang-mentang mendukung si A atau si B maka hanya percaya hasil quick count dari lembaga survey yang memenangkan siapa yang didukungnya.
Secara formal kelembagaan dan ilmiah, perlu dilakukan audit yang akuntabel dan transparan terkait hasil quick count yang berbeda-beda tersebut. Oleh karena itu sangat diharapkan agar asosiasi lembagai survey terkait segera melaksanakan audit dan mengumumkan hasilnya kepada publik. Hal ini sangat penting terkait kredibiltas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga survey yang menjadi salah satu pendukung tegak dan berjalannya demokrasi di Indonesia. Tanpa lembaga survey yang kredibel dan bisa dipercaya, maka para pihak yang tidak ingin demokrasi di Indonesia berkembang dewasa dan mengutamakan suara rakyat, akan bebas melakukan aksinya untuk terus mendapatkan kekuasaan.
Agar hal yang sama tidak terulang di pemilihan umum yang akan datang, maka KPU dan BAWASLU sebagai otoritas utama yang menjalankan pelaksanaan pemilu di Indonesia, harus bersikap tegas dengan menetapkan serangkaian peraturan yang ketat untuk lembaga survey yang hendak melaksanakan quick count. Peraturan-peraturan tersebut berisi persyaratan-persyaratan yang bisa memastikan hanya lembaga survey kredibel yang dapat melaksanakan quick count, bukan lembaga survey abal-abal yang sekadar mencari makan lalu dengan mudah mengeluarkan hasil yang juga abal-abal sehingga membuat masyarakat bingun yang berpotensi memicu keributan.
Beberapa syarat yang menurut penulis harus diatur oleh KPU/Bawaslu dan wajib dipenuhi oleh lembaga survey yang akan melakukan quick count adalah:
1.Lembaga Survey yang akan melakukan quick count harus mendaftarkan diri paling lambat beberapa hari sebelum pemilu di mulai. Hal ini untuk mencegah munculnya lembaga survey dadakan yang melaksanakan quick count pesanan. Quick count bukan kerja sembarangan karena memerlukan serangkaian persiapan yang dilakukan jauh hari sebelum pemilu dilaksanakan. Dengan demikan, hanya lembaga survey yang telah siap baik infrastruktur, sarana-prasarana, SDM, dan penunjang lainnya yang bisa berperan serta dalam pemilu dengan melakukan quick count. Masing-masing kubu yang hendak memakai jasa lembaga survey pun tidak bisa lagi ujug-ujug menunjuk seenaknya lembaga survey abal-abal berdasarkan “deal-deal” yang bisa mencederai demokrasi. Adanya pembatasan waktu pendaftaran ini, juga memberi kesempatan pada KPU/Bawaslu untuk meneliti hal-hal terkait quick count yang akan dilaksanakan oleh lembaga survey, apakah memenuhi syarat yang telah ditentukan.
2.Penentuan jumlah sampel minimum. Beberapa lembaga survey melaksanakan quick count dengan jumlah sampel yang berbeda-beda, tergantung kemampuan masing-masing. Hal ini berpotensi menghasilkan hasil quick count yang jauh berbeda. Dengan penetapan jumlah sampel minimum yang harus dipenuhi dan harus ada di semua provinsi, jika perlu di semua kabupaten/kota, maka hasil quick count tidak akan jauh berbeda apalagi berkebalikan. Tiap lembaga survey dibebaskan menetapkan TPS mana yang menjadi sampelnya, namun harus dijelaskan tertulis secara ilmiah mengenai metodenya mengapa memilih sampel TPS tersebut. Dengan demikian, hanya lembaga survey yang benar-benar siap (telah menentukan sampel yang bisa dipertanggungjawabkan) yang bisa melaksanakan quick count.
3.Memberikan dokumen informasi yang lengkap terkait pelaksanaan quick count kepada KPU. Dokumen lengkap tersebut harus diberikan minimal hari terakhir pendaftaran peserta quick count. Dokumen berisi informasi lengkap terkait penanggungjawab, yang membiayai, metodologi, sampel yang dipilih dan metode pengambilan sampel, petugas yang mengirimkan data, SOP dan informasi lainnya untuk transparansi. Hal ini akan mengeliminasi lembaga survey yang tidak profesional/abal-abal karena harus penuh persiapan untuk memenuhi semua persyaratan tersebut.
4.Melaporkan hasil quick count pada KPU/Bawaslu. Lembaga survey tidak hanya memberikan hasil lengkap quick count kepada pihak yang membayarnya, namun juga harus diberikan pada KPU/Bawaslu. Hal ini dikarenakan hal tersebut pada hakekatnya adalah milik publik dan harus diketahui publik melalui KPU dan Bawaslu. Dengan demikian lembaga survey tidak bisa lagi sembarangan melaksanakan quick count karena hasilnya bisa dilihat publik dan dibandingkan dengan lembaga survey lainnya.
5.Penetapan publikasi hasil quick count paling cepat pada jam tertentu. Pengumpulan data dan pelaporannya memerlukan waktu untuk direkap dan menjadi hasil quick count. Oleh karena itu untuk mencegah publikasi quick count yang terburu-buru sehingga bisa memprovokasi, maka sebaiknya publikasi berjalannya hasil quick count dilaksanakan agak jauh/beberapa jam setelah selesai pencoblosan. Misalnya dimulai jam 3 atau 4 sore pada hari yang sama. Dengan demikian semua pihak tidak perlu terlalu terburu-buru dan memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri dan mengumumkan hasil quick countnya masing-masing.
Demikianlah uraian dan pendapat penulis terkait terjadinya kontroversi quick count pada pilpres 2014. Hal ini untuk menertibkan agar tidak sembarangan pihak melakukan quick count yang hasilnya bisa jadi diatur/diupayakan sesuai pesanan. Dipercaya atau tidak, sangat kental aroma adanya permainan yang terjadi terkait hasil quick count yang berbeda-beda bahkan bertolak belakang. Entah dipihak siapa atau lembaga survey mana yang melakukannya. Namun hal ini semestinya tidak terjadi agar demokrasi Indonesia bisa berkembang menuju kedewasaan untuk memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat Indonesia,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H